Loading

Senin, 27 Agustus 2012

LEBARAN KETUPAT (BAKDO KETUPAT)

BAKDO KETUPAT



Tradisi bakdo kupat atau lebaran ketupat diadakan H+7 Idul Fitri sebagai penanda dan wujud syukur berakhirnya Puasa Sunnah 6 hari Syawal.
Tradisi lebaran ketupat mempunyai makna filosofis yang dalam, dimana ketupat merupakan simbol permintaan maaf dan simbol menjalin tali silaturahim.
Kupat diartikan sebagai ngaku lepat atau mengaku salah.
Pembungkus ketupat berupa janur diartikan sebagai nur (cahaya) yang melambangkan kondisi manusia dalam keadaan suci setelah mendapatkan pencerahan (cahaya) selama bulan Ramadhan.

Hari Raya Iedul Fitri atau yang lebih akrab disebut lebaran sangat kental dengan tradisi makan ketupat. Ketupat biasanya dibuat pada hari ke tujuh setelah lebaran atau tanggal 7 Syawal. Ketupat lebaran disajikan dengan beberapa menu pelengkapnya seperti opor ayam, sambal goreng cecek, rendang, dan lain-lain. Ternyata, tradisi ketupat lebaran tak hanya ada di Indonesia, tetapi juga di beberapa negara seperti Malaysia, Brunei, Singapura, dan Filipina pun membuat ketupat di saat momen lebaran tiba.
Tak ada yang tahu pasti mengenai tradisi ketupat lebaran ini. Diperkirakan tradisi ini sudah ada sejak masuknya Islam di tlatah Jawa, yaitu sekitar tahun 1400-an. Bisa jadi, tradisi ketupat lebaran sudah ada pada zaman pra-Islam Nusantara dan berkembang ketika zaman penyebaran Islam oleh Walisongo. Hingga kini pun tradisi ketupat lebaran terus dilestarikan oleh para umat Islam, khususnya di Indonesia.
Ketupat dalam bahasa Jawa memiliki banyak makna. Ketupat disebutkupat yang berasal dari suku kata ku = ngaku(mengaku) dan pat = lepat (kesalahan), sehingga bisa diartikan sebagai mengaku kesalahannya. Arti lain dari sisi bahasa adalahkupatan (bahasa Jawa) berasal dari kata kaffatan(bahasa Arab) yang mengalami perubahan bunyi menjadi kupatan.Makna secara istilah yaitu merupakan simbolisasi berakhirnya bulan puasa yang berganti lebaran (fitri), hal ini sebagai penanda terhadap ke-Islaman manusia yang sudah sempurna. Ada pula yang mengartikan ketupat ataukupat dengan laku papat, yaitu empat perbuatan. Maksudnya ada empat perbuatan yang dilakukan pada bulan Ramadan sampai Syawal, yaitu puasa, tarawih, zakat, dan salat Ied.
Membuat ketupat sendiri tidaklah sulit. Hanya dibutuhkan daun kelapa yang masih muda atau biasa disebut denganjanur. Kemudian dua helaijanur dianyam menjadi kelontong ketupat yang siap diisi beras. Beras yang akan dijadikan isi dalam kelontong ketupat sebelumnya dicuci bersih terlebih dahulu, setelah itu di masukkan dengan ukuran dua pertiga bagian dari volume kelontong ketupat. Untuk menghasilkan kualitas ketupat yang padat dan kenyal, membutuhkan waktu kurang lebih 5 jam untuk mengukusnya. Ketupat ini bisa tahan hingga 2 hari, setelah itu bisa dikukus kembali agar tidak basi.
Jangan khawatir jika tidak bisa membuat kelontong ketupat sendiri, karena banyak produsen yang menjualnya di pasar-pasar tradisional. Harganya relatif terjangkau, hanya Rp.4.000-Rp.5.000 per 10 biji. Bentuknya pun bermacam-macam, ada yang berbentuk belah ketupat, ada pula persegi dan persegi panjang, dan juga segitiga. Bagaimanapun, tradisi ketupat lebaran telah menjadi bagian dari budaya Nusantara, maka kita wajib untuk melestarikannya. Lebaran pun serasa tak lengkap jika tak ada menu ketupat untuk di hidangkan.

sumber : http://www.hellosolo.com/ketupat-lebaran

Rabu, 01 Agustus 2012

6 Tradisi Masyarakat Indonesia Sambut Ramadhan

Indonesia adalah salah satu negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Tidak saja kaya akan kekayaan alam, Indonesia juga kaya akan adat dan istiadat. Termasuk kekayaan tradisi menyambut kedatangan bulan Ramadan. Berikut enam tradisi yang digelar di beberapa daerah dalam rangka menyambut bulan suci Ramadhan.
6 Tradisi Masyarakat Indonesia Sambut Ramadan
1. Dugderan
dugderan


Dugderan merupakan festival untuk menandai dimulainya ibadah puasa di bulan Ramadan di Kota Semarang. Dugderan dilaksanakan tepat 1 hari sebelum bulan puasa. Kata Dugder, diambil dari perpaduan bunyi bedug yaitu dug, dan bunyi meriam yang mengikuti kemudian diasumsikan dengan der. Dahulu, acara ini menjadi cara pemerintah daerah untuk memberi informasi kepada warganya bahwa bulan Ramadan telah datang. Dugderan saat ini berkembang menjadi sebuah pesta rakyat yang berpusat di Simpang Lima Semarang.
2. Sadran
nyadran
Sadran atau nyadran adalah tradisi masyarakat di beberapa lokasi di Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk menyambut datangnya bulan Ramadan. Tradisi ini meliputi membersihkan makam leluhur atau keluarga, doa dan makan bersama. 

3. Padusan
padusan

Tradisi Padusan adalah ritual yang banyak dilakukan oleh warga Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan beberapa tempat lainnya. Kata padusan berasal dari kata bahasa Jawa 'adus', yang artinya mandi. Ritual yang dilakukan pada sehari sebelum Ramadan. Makna dari ritual ini adalah membersihkan jiwa dan raga saat memasuki bulan suci.

4. Meugang 
meugang

Meugang adalah tradisi menyambut bulan Ramadan yang dilaksanakan di Nangroe Aceh Darussalam (NAD). Tradisi ini dilakukan dengan menyembelih kambing atau kerbau.
5. Jalur Pacu
jalur pacu
Tradisi Jalur Pacu dilaksanakan oleh masyarakat Riau dalam rangka menyambut bulan Suci Ramadan. Diawali dengan lomba dayung di sungai-sungai besar. Upacara ini diakhiri dengan Balimau Kasai atau bersuci menjelang matahari terbenam.

6. Balimau
balimau
Balimau adalah tradisi menyambut bulan Ramadan yang dilakukan oleh warga Sumatera Barat. Balimau, dalam bahasa Minangkabau artinya mandi disertai keramas. Makna melaksanakan Balimau adalah membersihkan jiwa dan raga untuk mulai memasuki bulan suci ramadan.

sumber : detik.com

TRADISI RAMADHAN DI SURABAYA

acara masjid agung surabaya

 RAMADHAN DI SURABAYA
Dalam rangka, menyambut bulan suci Ramadhan 1433 Hijriyah, Masjid Al Akbar Surabaya menggelar festival budaya dan tradisi Ramadhan, selama satu bulan penuh. Kegiatan yang dilakukan ini merupakan tradisi dan budaya umat Islam di Indonesia yang berangsur-angsur mulai punah, yang kini mencoba dilestarikan kembali di Jawa Timur.
Acara yang digelar mulai 20 Juli hingga 15 Agustus itu, menampilkan lomba patrol kreatif, hafalan Al Qur’an dan adzan anak, rebana, fashion religi anak, al banjari, dan lomba mewarnai tingkat TK A dan B, yang diikuti oleh seluruh masyarakat muslim di Jawa Timur.
“Kegiatan-kegiatan ini bertujuan untuk mendidik anak-anak agar tetap melestarikan budaya Islam yang saat ini sudah mulai tergerus oleh zaman,” terang Humas Masjid Al Akbar Surabaya, Helmy M Noor, Jumat (20/7).
Selain menggelar festival budaya dan tradisi Ramadhan, acara yang diresmikan Wakil Gubernur Jawa Timur, KH Syafullah Yusuf, selepas Sholat Jumat di halaman Masjid Al Akbar itu, juga membuka stand-stand sembako murah di halaman masjid.
“Tujuan, agar masyarakat usai menunaikan shalat di Masjid Al Akbar, bisa membeli kebutuhan-kebutuhan pokok yang terjangkau dengan isi kantong kita. Seperti kita ketahui, menjelang puasa dan lebaran, harga-harga kebutuhan pokok naik drastis. Nah, inilah maksud dan tujuan kita menyediakan stand-stand khusus di halaman masjid,” lanjut dia menerangkan.
Senada dengan Helmy, dalam sambutannya, Gus Ipul, sapaan akrab KH Syafullah Yusuf mengatakan bahwa tradisi dan Islam di tanah Jawa memang harus dilestarikan. “Kalau tidak, budaya-budaya Islam akan tergerus oleh zaman. Nah, kali ini Jawa Timur ingin menciptakan Ramadhan aman Lebaran nyaman, yaitu dengan cara meningkatkan ukhuwah Islamiyah serta memberikan pelayanan sembako murah, dengan menyediakan stand-stand semboka di halam masjid.” (Bs/era)

sumber : http://jaringradio.suarasurabaya.net

7 TRADISI RAMADHAN DI BERBAGAI NEGARA

bulan ramdhan

Bulan Ramadhan dianggap sebagai bulan penuh berkah dan ampunan bagi umat Islam, oleh karena itulah bulan Ramadhan ini dianggap sangat spesial. Bahkan saking spesialnya di lakukan sebuah tradisi untuk menyambutnya, dan hal ini berbeda adatnya di setiap belahan dunia.

Berikut 7 tradisi sambut Ramadhan di dunia :


1. Austria

Menjelang bulan suci Ramadhan, Muslim di Austria biasanya menggelar kampanye pengumpulan paket lebaran untuk keluarga miskin dan hadiah lebaran untuk anak-anak yatim piatu di Palestina. Kampanye ini dikordinir oleh organisasi kemanusiaan Palestina yang ada di Austria. Kampanye yang diberi nama Feeding Fasting Palestinians ini mendapat sambutan positif dari Muslim Austria. Untuk menentukan jatuhnya awal bulan Ramadhan, Muslim Austria sepakat mengikuti Arab Saudi. 

2. Swedia

Ada suatu perbedaan besar antara cara merayakan Ramadan di negara-negara Skandinavia dan negara-negara Eropa yang lainnya terkait dengan jumlah umat Islam. Walau mereka menjadi minoritas di Swedia, namun Ramadan membentuk suasana spiritual berbeda yang dinanti-nanti kehadirannya dari tahun ke tahun. Begitu mengetahui munculnya hilal, umat Islam Swedia akan saling memberi selamat satu dengan lainnya. Mereka melaksanakan salat tarawih berjamaah di masjid-masjid terdekat. Apabila tidak ada masjid, mereka salat di tempat-tempat yang mereka sewa sementara.

3. Mesir

Di Mesir terdapat sebuah meriam tua di dataran tinggi Moqattam dekat Citadel yang digunakan sebagai penanda bulan puasa. Tiap waktu imsak dan buka puasa, meriam ini disulut hingga mengeluarkan bunyi dentuman yang keras. Meriam yang diberi nama Hajjah Fatimah, walau meriam itu telah diganti, namanya tetap tak berubah. 

Di Mesir juga terdapat tradisi Ramadan yang disebut Maidah Rahman atau hidangan kasih-sayang. Maidah Rahman adalah hidangan makanan gratis bagi orang yang berpuasa. Tak hanya takjil, tapi juga makanan berbuka lainnya. Menunya pun bermacam-macam bahkan ada yang sekelas hotel berbintang. Program ini merata di seluruh negeri Mesir dan berlangsung selama bulan puasa. 

4. Liberia

Selama bulan Ramadan, umat Islam di Liberia berhenti mendengarkan musik. Bagi mereka, orang yang mendengarkan musik selama Ramadhan dianggap berdosa dan menyimpang dari ruh bulan yang diberkati ini. Namun ketika pertama menyambut datangnya bulan Ramadhan orang-orang Liberia mulai memainkan alat-alat musik dari kayu selama beberapa jam dan disiarkan oleh radio lokal.

Di Liberia, orang yang biasanya membangunkan kaum Muslimin untuk makan sahur disebut Papali. Papali bertugas tiga jam sebelum fajar dan berhenti sebentar di tiap rumah, dengan menyanyikan lagu-lagu relijius lokal (sejenis nasyid) dan kalimah syahadat. 

5. Mauritania

Pada awal Ramadan, Muslim Mauritania terutama yang muda, bergegas menuju masjid untuk melaksanakan salat tarawih. Dan seusianya mereka saling berkunjung satu sama lain dan meminum teh hijau, minuman khas di Mauritania. Solidaritas dan uhkhuwah islamiyah biasanya muncul dan tersebar di seantero negeri selama bulan suci. 

6. Bangladesh

Suasana Ramadan di Bangladesh sangat berbeda. Umat Islam, lebih banyak memanfaatkan waktu bulan puasa untuk memperbanyak membaca buku agama. Sudah menjadi tradisi di Bangladesh, tiap tahun dibuka pameran buku di bulan Ramadan.

7. China

Beragam aktivitas keislaman diselenggarakan di masjid-masjid Cina seperti kajian tafsir Alquran sebelum tarawih dan memburu malam lailatul qadr. Penganan tambahan seperti teh, gula-gula dan kurma disajikan di tiap rumah sebagai pembeda bulan penuh berkah ini dengan hari-hari biasa. Begitu menjelag hari raya Idul Fitri, kaum Muslimin Cina juga diselimuti kebahagiaan dan saling berucap selamat hari raya.

Sumber: www.news.infospesial.net

"MUNGGAH" Tradisi Menjelang Ramadan

"Munggah" Adat Jawa Barat
Pawai obor
Di Jawa Barat, munggah merupakan tradisi yang dijalankan setiap tahun, menjelang Ramadan. Ada yang mengisinya dengan berziarah kemakam keluarga, ada yang pulang kampung untuk melewatkan sahur pertama bersama orang tua, ada pula yang mengisinya dengan melakukan ritus “mandi besar”. Ternyata, munggah merupakan tradisi yang sudah sangat tua dan berhubungan dengan kebiasaan masyarakat Jawa Barat pada zaman prasejarah.

Dalam bahasa Sunda, kata “munggah” berarti “naik’ dan mengandung makna “peningkatan” atau “perubahan”. Budayawan Usep Romli mengatakan, dalam konteks menyambut Ramadan, munggah berarti menuju peningkatan demi mencapai tahap yang lebih baik. Apalagi, didalam Surat Albaqarah ayat 183 disebutkan, Ramadan – melalui perintah saum – akan menjadikan orang-orang mukmin mencapai tingkat taqwa. “Urgensinya, ketika masuk ibadah saum, kita sudah siap lahir dan batin karena sudah dibersihkan waktu munggah itu,” ujarnya.

Di dalam syariat Islam, tradisi munggah sebenarnya tidak dikenal. Di arab Saudi, masyarakat hanya memiliki kebiasaan membaca doa melihat hilal menjelang datangnya bulan Ramadan, itu pun dilakukan secara perseorangan, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah saw. Dengan kata lain, tradisi munggah, termasuk takbir keliling dan mamaleman (“mencari” Lailatulkadar), hanya tradisi lokal yang dipadukan dengan unsur religius islam. Usep menyebutkannya sebagai transformasi dan variasi budaya sebagai bentuk “lokalisasi Islam”

Hal itu dibenarkan oleh budayawan Jakob Sumardjo. Menururt dia, sejumlah kegiatan dalam tradisi munggah merupakan kegiatan yang sebenarnya dilakukan pada upacara yang bermakna “manunggal dengan nenek moyang” pada zaman purba. Sisa-sisa upacara itu masih lestari dalam bentuk bersih desa, ngalaksaseren taunngarot, dan sejenisnya. Dalam upacara-upacara semacam itu, dilakukan penyatuan manusia sebagai mikrokosmos dengan alam sebagai makrokosmos dan arwah nenek moyang berupa mitos, mitos sebagai metakosmos.

Rangkaian upacara dari mulai mandi bersama (bersih badan). Pantang dan puasa, ziarah kubur, seni pertunjukan yang mementaskan kisah mitologi nenek moyang pendiri wilayah, dan akhirnya makan bersama atau kenduri. Tempatnya bisa di tanah lapang balai desa, leuwi, mata air, bisa juga diperkuburan desa. Pada upacara-upacara tahunan seperti itulah semua penduduk kampung berkumpul.

Sewaktu agama Islam masuk Indonesia, tradisi lama itu kemudian disesuaikan dengan kepentingan Islam. Soalnya, jika tak dilakukan, masyarakat akan merasa ada sesuatu yang hilang dari bagian dirinya sebagai kelompok. Momentum yang tepat untuk pelaksanaan upacara pun bergeser. Bukan lagi pada saat panen, melainkan menjelang bulan Puasa dan Lebaran. Artinya, kedua momentum itu dianggap sama istimewanya dengan waktu panen.

Seperti mudik, munggah akan selalau menjadi tradisi yang istimewa karena, entah mengapa, selalu sukses memunculkan suasana religius yang haru dan romantis serta rasa rindu terhadap “rumah”. Selain sejarah yang panjang mengenai tradisi itu, mungkin kesan itulah yang membuat munggah masih eksis dalam peradaban umat Islam Indonesia.

Sumber: Lia Marlia/”Pikiran Rakyat”


Dinamika Tradisi 'Meugang' Jelang Puasa


 'Meugang' Tradisi Aceh
 'Meugang' Tradisi Aceh
DALAM menyambut hari-hari besar Islam khususnya bulan puasa, masyarakat Aceh mempunyai tradisi yang unik. Tradisi masyarakat Aceh dalam menyambut sehari sebelum datangnya puasa dan sehari sebelum merayakan lebaran dikenal dengan mameugang atau sering disingkat meugang.
Dalam adat Aceh tradisi meugang telah dirayakan sejak masa Kerajaan Aceh Darussalam, hari meugang selalu dilakukan pada hari-hari tertentu dalam Istana Darud Dunia yang dihadiri oleh Sultan, Wazir, Uleebalang dan para alim ulama. Biasanya meugang jatuh pada tanggal 29 atau 30 Syakban (satu atau dua hari menjelang Ramadhan).
Menjelang upacara tersebut Syahbandar Seri Rama Setia Kerajaan biasanya memberikan hadiah berupa pakaian yang akan dipakai oleh sultan dalam pagelaran tersebut. Bahkan, Syahbandar juga menyediakan karangan-karangan bunga yang akan ditempatkan di makam para Sultan. Sultan juga memerintahkan kepada Syahbandar Imam Balai Baitul Fakir/Miskin (lembaga yang berfungsi untuk memberikan santunan kepada kaum dhuafa dan anak yatim) untuk membagikan daging, pakaian, dan sembako lainnya kepada kaum dhuafa, fakir miskin, orang cacat dan para janda.
Tetap dirayakan
Biaya untuk penyantunan hari meugang ditanggung oleh bendahara orang kaya Balai Silatur Rahim; yakni lembaga yang berfungsi untuk mengatur hubungan antarwarga negara dan antarmanusia yang bernaung di bawah Kerajaan Aceh Darussalam. Bahkan pada masa kekuasaan kolonial Belanda di Aceh, tradisi meugang tetap dirayakan sehingga Pemerintah Belanda saat itu mengambil kebijakan untuk meliburkan kegiatan pada hari meugang dan membagikan daging kepada masyarakat (Ali Hasjmy: 1983:151).
Dalam catatan Snouck Hurgronje (De Atjeher: 175) tradisi meugang telah berfungsi untuk membantu perjuangan rakyat Aceh sebagai bantuan logistik. Daging meugang diawetkan dengan menggunakan garam, cuka dan bahan-bahan pengawetan lainnya. Dengan daging meugang yang diawetkan itu (sekarang dikenal dengan dendeng) para pejuang Aceh bisa bertahan hidup dan menjaga persediaan makanan dalam melakukan perang gerilya dengan Belanda.
Fenomena meugang yang terjadi dalam masyarakat Aceh pascakonflik dan tsunami telah menggeser nilai-nilai tradisi meugang yang dikenal erat dengan nilai religi, berbagi, kebersamaan dan saling menghormati, sehingga menjadi momentum untuk merekat persatuan dalam masyarakat. Saat ini, Tradisi meugang di Aceh seakan-akan menjadi momok yang menakutkan bagi kaum dhuafa dan anak yatim bahkan menjadi hal yang dihindari oleh sebagian kaum birokrasi di Aceh.
Hal demikian disebabkan oleh nilai meugang yang tidak lagi dipandang sebagai suatu hal yang mulia untuk saling berbagi antarsesama, sehingga saat-saat menjelang hari meugang bisa ditebak bahwa angka kriminalitas meningkat, para pejabat yang tidak masuk kantor (dengan alasan menghindari orang-orang yang minta uang meugang) dan maraknya "pengemis" di jalan atau di kantor.
Di samping itu, tradisi meugang juga dijadikan sebagai kesempatan untuk melakukan transaksi bisnis oleh sebagian pengusaha musiman sehingga menyebabkan kaum dhuafa rela terjerat utang-piutang demi setumpuk daging meugang yang tidak lagi `sakral' dalam kehidupan masyarakat Aceh.
Di pundak Pemerintah Aceh terpilih hal ini menjadi pekerjaan yang harus diselesaikan, sehingga fungsi mameugang mempunyai nilai kebersamaan dan saling berbagi antarsesama. Mungkin dengan membangun kembali Balai Baitul Fakir seperti masa kejayaan Kerajaan Aceh Darussalam dengan alokasi dana khusus yang diperuntukkan kepada fakir miskin, anak yatim dan para janda atau mengoptimalkan fungsi badan-badan pemerintah untuk membangun kebijakan prorakyat khususnya pada kegiatan adat yang telah berakar (baca: meugang) dalam masyarakat Aceh.
 Dinamika sosial
Sudah seharusnya program-program yang mubazir dihilangkan dan tidak perlu dipelihara demi terciptanya masyarakat Aceh yang sejahtera dan harmonis. Seperti program pembangunan gedung Islamic Training Center (ITC) Baitul Mal yang menghabiskan dana 37,3 milyar Rupiah (Serambi Indonesia, 28/5/2012). Tradisi meugang yang telah lahir dalam masyarakat Aceh sejak masa kejayaan Kerajaan Aceh Darussalam seharusnya dijadikan sebagai gambaran dalam menghadapi dinamika sosial masyarakat Aceh saat ini.
Jika adat meugang dipandang sebagai hal yang menakutkan dalam kehidupan modern masyarakat Aceh saat ini tanpa memberi ruang penempatan nilai yang optimal antara nilai adat dan kemajuan, maka benarlah kata Friedrich Nietzsche (1844-1900); "Ketika kita ingin menjadi masyarakat kosmopolit dengan melupakan masa lalu, maka itulah masyarakat tanpa budaya." Semoga tidak!

sumber : http://www.tribunnews.com

BALIMAU BUKAN AJARAN ISLAM DAN BUDAYA MINANG


TRADISI JELANG RAMADAN
Balimau yang telah menjadi tradisi menyambut Ramadan dinilai bukan budaya Minang dan tak dianjurkan di tempat terbuka oleh agama Islam. Balimau juga disebut dengan “mandi berjamaah”. Balimau saat kini lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya, serta penuh dosa.
Bagi umat Islam seantero dunia, bulan Ramadan adalah bulan yang sangat ditunggu-tunggu. Menjelang pelak sanaan ibadah puasa di bulan Ramadan setiap tahunnya, ada banyak tradisi masya rakat Minangkabau yang sampai saat ini masih hidup, antara lain ziarah kubur, malamang, dan yang sangat massif adalah balimau.
Tra disi ini biasanya dilaksanakan menjelang puasa. Orang Mi nang memang memiliki sekian banyak tradisi yang khas dalam implementasi Islam.
Tradisi ini sungguh-sung guh merupakan tradisi indi genius atau khas, yang tidak dimiliki oleh masyarakat Islam di tempat lain, jika pun ada itu berupa kemiripan. Tradisi ini ditandai dengan upacara selamatan ala kadar nya untuk menandai akan masuknya bulan puasa Ra madan yang diyakini sebagai bulan yang suci dan khusus.
Sama dengan tradisi-tra disi lain di dalam Islam, maka tradisi ini juga tidak diketahui secara pasti siapa yang menciptakan dan menga wali pelaksanaannya. Tetapi tentu ada dugaan kuat bahwa tradisi ini diciptakan oleh nenek moyang orang Minang yang dulunya beragama Hin du. Memang hal ini baru sebatas dugaan, namun me ngingat bahwa kreasi-kreasi tentang Islam Minang te rutama yang menyangkut tradisi-tradisi baru akulturatif yang bervariatif tersebut kebanyakan datang dari pe nga ruh budaya Hindu-Budha, maka kiranya dugaan ini pun bisa dipertanggungjawabkan.
Salah satu kebiasaan yang kerap menyulut kontroversi adalah balimau karena identik dengan kebiasaan yang tak diajarkan Islam.
Dulu, balimau merupakan sebuah kegiatan yang dila kukan di tepian mandi atau di pancuran. Warga, tentunya yang beragama Islam, mem bersihkan diri, dengan meng­gunakan sabun dan we wa nginan dari bunga-bungaan. Bunga-bungaan itu diramu dari berbagai kembang, ke mudian dibubuhi minyak harum (parfum) yang tidak mengandung alkohol.
Tujuannya, agar bisa me masuki bulan suci Ramadan dengan tubuh yang suci pula. Sebuah kebiasaan yang tidak ada salahnya, karena ajaran Islam mengajarkan agar pe nga nutnya selalu bersih dan harum. Walau demikian, balimau bukanlah budaya Islam atau budaya Minang.
Akhir-akhir ini ada per geseran cara balimau. Khusus bagi kawula muda, balimau dilakukan di tempat pe man dian. Mereka datang ber sama-sama, lelaki dan perem puan yang bukan muhrim. Lalu, di tepian mandi umum tersebut mereka mandi ber sama. Ada yang menyebut dengan nada sinis, balimau seperti itu hanya untuk mandi berjamaah antara lelaki dan perempuan yang bukan muhrim.
Kebiasaan “balimau”, da lam bentuk “mandi ber ja maah” bukanlah budaya Mi nang, maupun budaya Islam.
Penilaian itu dikatakan Ketua Majelis Ulama Islam (MUI) Kabupaten Agam, Dr Zulkifli Dja’far, MA Khatib Rumah Panjang, ketika dihu bungi Haluan pekan lalu.
Balimau menjelang me masuki bulan suci Ramadan dalam Islam adalah aktivitas membersihkan jiwa. Mak sudnya, balimau merupakan kegiatan bermaaf-maafan, dengan mendatangi orang tua dan karib kerabat. Bermaaf-maafan merupakan sebuah aktivitas membersihkan jiwa seorang muslim. Balimau juga dilakukan dengan mem ber sihkan diri untuk memasuki Bulan Suci Ramadan. Mem bersihkan diri dengan cara mandi di tepian atau kamar mandi masing-masing. Usai mandi biasanya kaum mus limin dan muslimah memakai harum-harum, seperti harum-haruman dari bunga.
“Namun balimau ke tem pat pemandian umum, atau ke water boom, tidak dian jurkan dalam ajaran adat maupun agama Islam,” ujar Zulkifli Dja’far. Balimau menjelang me masuki Rama dan ke tempat pemandian umum secara bersama-sama antara lelaki dan perempuan yang bukan muhrim, menurut Buya Zul kifli, bisa mengun dang maksiat.
Oleh karena itu, sebaiknya dijauhi. Kepada para orang tua dan pimpinan kaum, diharapkan mencegah anak-kemenakan mereka pergi balimau dengan lelaki atau perempuan bukan muhrimnya. Daripada pergi balimau de ngan cara “mandi berjamaah” itu, lebih tidak dilakukan. Bersihkan saja jiwa dan raga dengan cara Islam. “Jangan melakukan perbuatan dosa, berdalih untuk pergi balimau.”
Mengundang kaum ke rabat untuk menghadiri ha jatan (berdoa), untuk tujuan bermaaf-maafan, menurut Buya Zulkifli, merupakan kegiatan yang bagus. Apalagi dilakukan menjelang me masuki bulan suci Ramadan. Berkumpul-kumpul dengan tujuan yang baik merupakan kegiatan yang bermanfaat. Antara lain untuk mening katkan silaturahim antar sesama.

Budaya Sesat
Sementara itu, Ketua Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Kabupatn Agam, Drs Mardius Asmaan Dt. Saripado dengan tegas mengatakan balimau dalam bentuk “mandi ber jamaah” merupakan budaya sesat. Dalam adat Minang kabau tidak ada anjuran untuk itu. Malah ia menyebut perbuatan seperti itu bukan menyucikan diri, tetapi malah menambah kotornya jiwa dan diri seseorang. Bagaimanapun, perbuatan tersebut diyakini akan memicu perbuatan dosa.
“Tidak ada perbuatan kotor akan menyucikan diri. Per buatan seperti itu sebaiknya dijauhi. Bila memang hendak menyucikan diri, balimau saja di kamar mandi masing-masing. Itu lebih terpelihara dari perbuatan dosa,” ujar mantan pejabat teras Pemkab Agam tersebut.
Adat Minangkabau ber landaskan ajaran Islam. Da lam mamangan adat dise butkan “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.” Kitabullah itu adalah Alquran. Dari sanalah dasar adat Minangkabau, makanya tidak mungkin adat Minangkabau berlawanan dengan ajaran Islam. Dalam Islam, berduaan saja antara lelaki dengan perempuan yang bukan mu hrim termasuk dosa, atau setidaknya bisa menyebabkan timbulnya perbuatan dosa.
Bila berduaan saja sudah dilarang, apalagi mandi ber sama antara lelaki dan perem puan yang bukan muhrim. Justru itu ia menghimbau pimpinan kaum untuk men cegah anak-kemenakannya pergi balimau ke tempat pemandian umum bersama lelaki atau perempuan yang bukan muhrimnya.
Pernyataan keras senada disampaikan bendaharawan LKAAM Agam, yang juga Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Agam, H. Junaidi, SH, Dt. Gampo Alam Nan Hitam. Menurutnya, warga Agam jangan sampai terjebak dengan perilaku dan budaya yang tidak baik. Budaya balimau bersama antara lelaki dan perempuan yang bukan muhrimnya, ke tempat pemandian umum, adalah budaya yang tidak benar. Makanya patut untuk dicegah. Alangkah memalukan bila anak Minangkabau mela kukan perbuatan balimau bersama lelaki danperempuan yang bukan muhrimnya. Apa lagi dilakukan di tempat pemandian umum.
“Balimau cukup di kamar mandi di rumah masing-masing. Untuk apa pergi jauh-jauh ke tempat pemandian umum,bila yang didapat adalah dosa,” ujarnya.
Pernyataan serupa men cuat dari salah seorang tokoh masyarakat Kecamatan Tan jung Mutiara, Nazirman. Menurut pensiunan Pegawai Pemkab Agam itu, balimau dengan cara yang salah, hanya akan menimbulkan dosa. Sebaiknya tidak dilakukan, apalagi bila hendak me ma suki Bulan Suci Ramadan.
Pernyataan keras juga mengapung dari ketua LSM Komite Masyarakat Agam (KOMA), Anizur. Menurutnya, janganlah memasuki  bulan Suci Ramadan dengan diri dan jiwa yang kotor. Sejatinya, masukilah bulan Suci Rama dan dengan jiwa dan diri yang bersih pula. Balimau dengan pola “mandi berjamaah” an tara lelaki dan perempuan yang bukan muhrim, adalah perbuatan dosa.
“Orang Agam tidak layak melakukan acara balimau dengan mandi berjamaah se perti itu,” ujarnya, dengan nada keras. Bupati Agam H. Indra Catri Dt. Malako Nan Putiah juga mengimbau se genap la pisan masyarakat Agam untuk melakukan per buatan yang bermanfaat, termasuk dalam hal balimau menjelang Ra madan. Me nurutnya, ba­limau bersama ke tempat pemandian umum antara lelaki dan perem puan yang bukan muhrim, bukanlah budaya Minang. Per buatan seperti itu biasanya dilakukan kawula muda, yang lebih banyak nilai hura-huranya daripa manfaatnya.
Sebagai orang Agam, yang menjunjung tinggi adat dan agama, janganlah sampai melalukan perbuatan yang tidak baik menurut ukuran adat dan agama. Karena balimau dengan cara “mandi berjamaah” antara lelaki dan perempuan yang bukan mu hrim, adalah perbuatan ter cela. Perbuatan seperti itu hanya akan mengundang dosa.
“Kalau mau memasuki bulan suci Ramadan, se baiknya umat menyucikan diri, bukan mengotorinya dengan balimau seperti itu,” ujarnya mengingatkan.

sumber : http://www.harianhaluan.com

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More