Loading

Rabu, 12 September 2012

Perkembangan Seni Tradisi


Perkembangan Seni Tradisi di Jawa Barat

Sejak zaman pra kemerdekaan hingga masa kini, bangsa Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan budayanya. Khususnya, memiliki keragaman budaya yang setiap suku daerahnya memiliki keunikan, yang tidak dimiliki oleh negara manapun di dunia. Seni pertunjukan Indonesia sangat istimewa, dan luar biasa, serta merupakan sosok seni pertunjukan yang sangat lentur dan „cair‟ sifatnya. Hal tersebut karena lingkungan masyarakatnya yang selalu berada dalam kondisi yang terus berubah-ubah. Pada kurun waktu tertentu, ada yang mapan dan mengembangkan suatu sosok yang tumbuh sebagai suatu „tradisi‟, sebagai upaya dan penerimaan masyarakat kepada suatu „hasil budaya‟ yang dialihteruskan selama ber-generasi. Begitu pula daerah Jawa Barat, berbagai karya seni tumbuh dan berkembang, difungsikan dari generasi ke generasi yang kemudian mempunyai ciri-ciri yang mapan, masing-masing daerah mempunyai ciri khas yang mencerminkan asal daerahnya, bahkan membentuk genre-genre, kemudian menjadi tradisi masyarakat setempat.
Seni pertunjukan dan kehidupan berkesenian pada umumnya merupakan salah satu perilaku budaya manusia, baik secara individu
7
maupun sebagai sebuah kelompok masyarakat. Maka setiap bentuk seni/ kesenian memiliki fungsinya masing-masing dalam kehidupan masyarakat. Serta setiap zaman, setiap etnis, setiap lingkungan masyarakat, serta setiap bentuk seni pertunjukan memiliki fungsi primer dan sekunder yang berbeda (R.M. Soedarsono, 2001: 170).
Fungsi primer yaitu:, (1) sebagai sarana upacara; (2) sebagai ungkapan pribadi; dan (3) sebagai presentasi estetis. Sedangkan fungsi sekunder apabila seni pertunjukan bertujuan bukan untuk dinikmati, tetapi untuk kepentingan yang lain. Ini berarti fungsi pertunjukan menjadi multifungsi, tergantung dari perkembangan masyarakat pendukungnya. Multifungsi itu antara lain; sebagai pengikat kebersamaan, media komunikasi, interaksi, ajang gengsi, bisnis, dan mata pencaharian. Dengan kata lain bahwa tiap tarian bisa mempunyai beberapa fungsi, yang menentukan fungsi primer dan fungsi sekundernya. Artinya fungsi belum tentu abadi dari waktu ke waktu (Anya Peterson Royce, 1980: 85).
a. Fungsi Primer
(1) Seni Pertunjukan sebagai Sarana Ritual. Beberapa daerah di Jawa Barat masih menyelenggarakan seni pertunjukan yang ada kaitannya dengan upacara ritual, khususnya yang berkaitan dengan padi, yang dilaksanakan menurut kebiasaan secara tetap, menurut waktu tertentu, serta untuk keperluan tertentu. Antara lain, Tarawangsa di Sumedang, Ngarot di Indramayu, dan Seren Taun di Sukabumi. Pertunjukan tersebut merupakan ritual untuk persembahan demi kesuburan pertanian. Penyajian tarian pada upacara padi, diyakini memiliki kekuatan magi–simpatetis dan berpengaruh terhadap upacara persembahan itu.
(2) Seni sebagai Sarana Hiburan. Tidak jelas kapan terjadinya pergeseran dari ronggéng yang berperan sebagai „media visualisasi
8
komunikasi‟ pada upacara ritual, menjadi pertunjukan tontonan, bahkan sekedar penyemarak hiburan kalangenan. Seni hiburan Ronggéng yang berkembang pada saat itu dinamakan Dogér dengan iringan gamelan Ketuk Tilu, yang pada waktu itu Dogér diartikan „ngadog-dogan anu beger’. Oleh karena setiap pementasan selalu berpindah-pindah tempat serta menghibur para „buruh atau kuli kontrak‟, maka pertunjukan ini kemudian dikenal dengan sebutan „Dogér Kontrak.’1 Para kuli kontrak pada waktu itu sangat menyukai seni hiburan ini, sehingga setiap kali pertunjukannya selalu saja dipenuhi oleh penonton. Ronggeng ada di mana-mana hingga ke pelosok-pelosok daerah di setiap pertunjukan hiburan menyemarakkan suasana kalangenan para penari laki-laki yang haus hiburan. Di antaranya pada pertunjukan Dongbret daerah pantai utara Pamanukan Subang, Belentuk Ngapung , Telebuk Ngapung, daerah Subang dan Karawang dan Purwakarta, Doger Kontrak, dan Ronggeng pangarak daerah Subang, Cokek di daerah Tanggerang dan Betawi, Ronggeng Ketuk di daerah Indramayu, Ronggeng Gunung di daerah Ciamis, Bangreng di daerah Sumedang, dan Banjet di daerah Depok dan Betawi.
(3) Seni Pertunjukan untuk Sarana Sajian Estetis. Pengaruh kontak budaya antara Priangan dengan Mataram Islam sejak 1595-1678, masih membekas pada perkembangan kesenian dan lingkungan kebudayaan di kalangan ménak Priangan hingga pertengahan abad ke- 20. (Tahun 1595 Kerajaan Galuh ditaklukkan oleh Mataram, selanjutnya Mataram membagi-bagi wilayah Priangan (Westerlanden) menjadi kabupaten-kabupaten yang masing-masing dikepalai oleh seorang bupati, periksa (Herlina, et al., 2003: 285-286). Sejak kerajaan Sunda lenyap, di Priangan tidak ada lagi kerajaan yang dapat dijadikan panutan budaya. Di beberapa kabupaten
9
diperkembangkan berbagai jenis kesenian yang agaknya ditiru dari Mataram oleh para dalem atau keluarganya yang setahun sekali pergi ke Mataram untuk caos upeti (Ajip Rosidi dalam Edi S. Ekadjati, 1984: 132).
Para bupati atau kaum ménak Priangan merasa bangga mengacu gaya hidup Mataram, dari gelar, tempat tinggal, etiket, busana, pusaka, berbagai upacara, dan kesenian (Tati Narawati, 2003: 146-155). Oleh karenanya di kabupaten-kabupaten, sering diadakan pergelaran berupa tari-tarian yang dipertunjukan untuk para tamu pada peristiwa-peristiwa penting.
Begitu pula di daerah Cirebon, khususnya keraton Kasepuhan dan Kanoman tarian yang berkembang di Keraton merupakan tarian yang disajikan untuk acara penting negara dengan nama Bedaya Rimbe. Adapun di Kraton Kacirebonan, Sekar Keputren, perkembangan dari Bedaya Rimbe. Bila mengamati perkembangan seni pertunjukan di Jawa Barat, terutama pertunjukan tari-tarian yang digunakan sebagai sarana pertunjukan atau sajian estetis, agaknya lebih berkembang di kalangan ménak, sedangkan tari kalangenan atau hiburan lebih banyak berkembang di kalangan rakyat atau cacah. Munculnya Tjetje Somantri yang merupakan pembaru tari Sunda di Jawa Barat, di awal tahun 1950-an merupakan sejarah baru bagi perkembangan tari Sunda, di mana karya-karyanya tidak hanya dapat disajikan di kalangan ménak belaka, akan tetapi berkembang hingga seluruh lapisan masyarakat.
b. Fungsi Sekunder
Apabila fungsi primer dari seni pertunjukan, adalah seni pertunjukan berfungsi untuk dinikmati, baik sebagai ritual, hiburan, atau tontonan, berbeda dengan fungsi sekunder. Fungsi seni pertunjukan lebih kepada kepentingan yang lain. Ini berarti fungsi pertunjukan menjadi multifungsi, tergantung dari perkembangan masyarakat pendukungnya. Multifungsi itu
10
antara lain; sebagai pengikat kebersamaan, media komunikasi, interaksi, ajang gengsi, bisnis, dan mata pencaharian, termasuk juga untuk kepentingan pariwisata.
Dengan perkembangan kondisi seperti masa kini, seni tidak bisa lagi hanya mementingkan ekspresi diri, dengan nilai-nilai yang diframe sendiri, tetapi harus lebih luas lagi memikirkan kepentingan orang banyak, termasuk juga promosi daerah yang kaitannya juga ekonomi, baik bagi para pelaku seni, maupun bagi perkembangan seni itu sendiri. Ini berarti seni harus bersinerji dengan aspek atau kegiatan lain, termasuk kegiatan Pariwisata sebagai sektor ekonomi.
Kondisi ini merupakan peluang yang sangat besar bagi seni pertunjukan etnik, atau pertunjukan lokal. Seni pertunjukan tradisional menjadi berfungsi sebagai ‟objek daya tarik wisata daerah‟ (ODTW), yang akan ditonton dan dikenang karena kekhasan dan keunikan. Untuk Seni pertunjukan yang menjadi Objek Daya Tarik Wisata Daerah (ODTW) sudah seyogyanya dapat menampilkan seni sesuai dengan nilai dan keindahan yang terkandung pada materi Seni itu sendiri. Sayangnya banyak seni pertunjukan daerah yang hampir punah karena tidak difungsikan masyarakatnya, baik sebagai sarana tontonan, maupun hiburan. Padahal seni merupakan modal sosial yang akan mendukung ekonomi masyarakat bila diberdayakan dengan baik.
2. Seni tradisi dan model pembinaannya
Seni tradisi di Jawa Barat banyak mengalami perubahan, di antaranya ada yang berubah fungsinya, bentuk, atau bahkan orientasi nilai budaya. Pada kenyataannya, identitas bangsa yang dikenal dengan kebudayaan tersebut‟ tidak pernah lagi dihiraukan oleh masyarakat pendukungnya‟. Kebudayaan selalu diartikan dengan „kata benda‟ yang mempunyai „nilai
11
adiluhung sebagai barang antik‟. Di sisi lain para pelaku budaya yang memproduksi hasil kebudayaan mengeluh dan meratap tidak berdaya, karena tidak „adanya ruang publik‟ untuk mengfungsikan atau mensosialisasikan produk budayanya, bahkan dirinya sebagai insan kebudayaan (Endang Caturwati, 2007:9).
Di Jawa Barat misalnya. Tidak ada satupun investor yang berani membuka Pusat Budaya sejenis Culture Center tempat berkumpulnya para seniman lokal sebagai ajang kreativitas, dengan penataan panggung yang representatif untuk suatu sajian pertunjukan serta dilengkapi disain artistik tata panggung, tata suara, dan tata lampu yang super canggih. Atau yang lebih kecil lagi, tempat untuk menyajikan berbagai pertunjukan tradisional, yang mencerminkan kelokalan daerah Sunda Jawa Barat.
Hal ini dianggap suatu hal yang muskil dan tidak menjajikan, khususnya bagi kepentingan bisnis. Begitu pula hotel atau restoran. Masih sangat langka, yang berani atau mau menyajikan seni pertunjukan tradisional secara rutin di hotelnya, sebagaimana pertunjukan-pertunjukan band, organ tunggal. Bahkan Konser-konser Musik, dengan artis-artis yang dibayar mahal. Ironis memang, untuk sebuah konser musik, penonton berani membeli karcis dengan harga 500 ribu, bahkan para pejabat hanya untuk kepentingan „prestise‟ membeli karcis dengan harga 2 juta rupiah. Sementara untuk sebuah pertunjukan tradisional, jangankan membeli, diundang secara gratispun tidak mau hadir (Caturwati: 20).
Bagaimanapun sangat patut dihargai adanya upaya beberapa Lembaga Perguruan Tinggi, antara lain seperti kelompok mahasiswa UPI, ITB, UNPAD, dan berbagai perguruan tinggi lainnya di Jawa Barat yang secara tidak langsung telah membantu peran pemerintah dalam melestarikan dan mengembangkan seni budaya, melaui „himpunan atau grup seni budaya‟ para mahasiswa dengan kegiatan, pelatihan, pergelaran, dan berbagai festival
12
seni budaya. Selain itu di Jawa Barat, misalnya terdapat pula beberapa aktivitas masyarakat dan para seniman, berupa kegiatan yang dinamakan Panglawungan: Tembang Cianjuran, serta Pangguyuban: Kakawihan, dari kita untuk kita. Selain sebagai ajang silahturahmi, serta ajang adu nyali di mana masing-masing personal melantunkan lagu-lagu tradisional, dalam „ajang‟ ini, sekaligus juga merupakan upaya melestarikan seni tradisi.
Beberapa hotel, daerah wisata, serta tempat pertunjukan pribadi, antara lain misalnya, di Bandung, di daerah Padasuka, yang dahulu merupakan perkampungan yang susah dijangkau oleh kendaraan umum, terdapat tempat pertunjukan yang dibangun atas inisiatif seorang seniman yang sangat mencintai seni budaya Sunda, Ujo Ngalanggena (alm) yang dikenal dengan nama „Saung Ujo‟. Di saung tersebut terdapat aktivitas kamonesan anak-anak dalam permainan angklung dan beberapa pertunjukan tradisional. Kemudian di Desa Wisata Sari Bunihayu Subang, walaupun tidak setiap saat, sering menampilkan seni pertunjukan daerah yang disajikan oleh anak-anak Sekolah dasar, seperti Gotong Singa, dan Gondang. Beberapa waktu silam terdapat Rumah Nusantara di daerah Geger Kalong yang diprakarsai seorang pejabat yang interes terhadap seni budaya lokal. Berbagai kegiatan seni dan budaya antar daerah digelar, merupakan ajang silahturami, komunikasi dan interaksi yang manis, merupakan upaya adanya trash budaya .
3. Pengkemasan Seni Pertunjukan dalam Industri Pariwisata
Pengkemasan seni pertunjukan atas pertimbangan industri pariwisata harus disesuaikan dengan kondisi dan keberadaan para turis dan wisatawan yang datang. Parawisatawan biasanya memiliki waktu yang terbatas untuk menonton seni pertunjukan, oleh sebab itu pengemasan dan perkembangan seni pertunjukan pun akan selalu mengikuti perkembangan dan dinamika masyarakat pendukungnya. Ada enam ciri utama seni pertunjukan kemasan
13
untuk industri pariwisata yang dikemukakan oleh R.M. Seodarsono yakni (1) tiruan dari bentuk aslinya, (2) pemadatan dari bentuk aslinya, (3) penuh dengan variasi, (4) sudah dihilangkan dari unsur ritualnya, (5) murah harganya untuk turis dan wisatawan, (6) mudah dicerna oleh wisatawan asing.
Dengan enam ciri seni pertunjukan tersebut, dibuat model-model tari dengan durasi waktu yang singkat dan padat hal ini disesuaikan untuk menghadapi tantangan dan permintaan industri pariwisata, tanpa harus mengurangi makna seni pertunjukan yang sesungguhnya. Diharapkan dapat menjelaskan kebimbangan beberapa pihak yang masih menyangsikan/ meragukan keberadaan seni industri parawisata yang dianggap merusak seni tradisional yang telah ada. Hal ini mungkin dapat dibenarkan apabila penerapannya tidak mengetahui konsep seni dalam industri pariwisata yang sebenarnya.
Salah satu langkah untuk menampilkan seni pertunjukan tradisional dalam bentuk tiruan, juga merupakan upaya preventif untuk menjaga orisinalitas seni tradisioanal yang asli. Upaya ini perlu diketahui dan dipahami oleh para konservasi seni pertunjukan/tradisional, sebab bentuk aslinya akan tetap terpelihara, karena yang akan dikembangkan dalam seni pariwisata, adalah tiruannya atau kesamaannya, sehingga hadirnya seni dalam pengembangan wisata ini tidak akan mengganggu keberadaan seni tradisional yang telah mengakar dalam masyarakat.
Para wisatawan dalam melakukan perjalanan ke suatu destinasi biasanya memiliki waktu yang terbatas, sementara wisatawan ingin mendapatkan informasi dan pengetahuan yang sangat banyak dan beragam. Seandainya seni pertunjukan tradisional dipergelarkan sesuai dengan makna yang sesungguhnya, maka turis tidak akan dapat menikmati seni pertunjukan tersebut, karena harus dilakukan pada waktu tertentu dan
14
durasi tertentu. Padahal para wisatawan merupakan sekelompok masyarakat yang mewakili daerah, bangsa, atau negara lain; dan merekalah yang akan mempromosikan dan memperkenalkan daerah yang dikunjunginya pada kelompok yang lain.
Seandainya seni pertunjukan tradisional tidak dikemas dan dibuat tiruannya dengan bentuk dan durasi yang lebih singkat dan menarik, dikhawatirkan seni pertunjukan tradisional hanya akan dikenal dan ditekuni oleh komunitas masyarakat tertentu saja. Berdasarkan beberapa fakta di lapangan seni pertunjukan tradisional di Jawa Barat, khususnya dan di Indonesia pada umumnya tidak dapat bekembang malah cenderung menghilang dan tidak digemari dan ditekuni oleh generasi mudanya. Inilah pentingnya pengemasan seni pertunjukan dalam industri pariwisata.
Hasil kemasan tersebut akan disajikan untuk masyarakat lain yang ada di luar komunitas masyarakat seni promosi, sebagai sampel promosi, bahwa seni pertunjukan yang sesungguhnya dapat dilihat di tempat sumber asalnya. Dengan demikian akan tetap terpelihara dan digeluti masyarakatnya itu sendiri. Justru dengan pengemasan (membuat tiruannya) untuk industri pariwisata akan menjadi media dakwah dan promosi pada orang lain, seandainya disajikan dalam bentuk yang menarik, akan menyebabkan orang lain tertarik untuk menekuni dan mempelajari. Hal ini sesuai dengan filosofi pembentukan seni pertunjukan pertama kali yang dikembangkan oleh masyarakat itu sendiri, di antaranya sebagai media dakwah agama Islam pada masanya.
Berdasarkan hasil pengemasan dari tiga seni tradisi yang dijadikan penelitian maka untuk pengemasan Tari Sekar Keputren yang pada awalnya muncul di lingkungan keraton Kacirebonan, termasuk ke dalam tari kelompok puteri, dengan karakter lenyep (halus). Sumber geraknya diambil dari beberapa tarian yang berkembang di keraton-keraton di daerah Cirebon,
15
di antaranya berasal dari gerak-gerak tari puteri, tari Golekan, Lenyepan, dan Tayuban. Dengan cara menata pola lantai sesuai dengan kepentingan seni pertunjukan, serta tata rias busana. Menata tari Sekar Keputrén menjadi tarian penyambutan atau pertunjukan tontonan pada acara-acara penting, yang disesuaikan dengan tempat, kondisi, dan keperluan. Pengemasan Tari Umbul yang pada awalnya sebagai seni pertunjukan bentuk helaran (ara-arakan) dilaksanakan di jalanan daerah Sumedang, saat ini tari Umbul telah melalui proses perkembangan dan kini memiliki fungsi tidak hanya disajikan pada acara pernikahan, khitanan, penyambutan para tamu, festival, dan hiburan pada acara besar nasional, akan tetapi juga kini menjadi tarian bersama pada akhir pertunjukan. Dengan cara mengembangkan koreografi, karawitan dan tata busana agar tarian tersebut lebih dinamis variatif dan menarik. Pengemasan Tari Ronggéng Pangarak sebagai bentuk kesenian yang diambil dari kesenian helaran/arak-arakan. Ronggéng yaitu istilah dari penari perempuan, sedangkan pengarak adalah penari yang mengiringi, mengikuti, atau mengusung kesenian helaran sehingga suasana helaran menjadi ramai, kompak, serempak, dinamis dan atraktif. Ronggéng Pangarak pada dasarnya mengacu pada gerak-gerak tari Sisingaan, gerak Ronggéng Bangréng, gerak Bajidoran dan gerak mincid Genjring Bonyok, yang dikemas menjadi satu kesatuan yang utuh dan menarik, dengan cara mengemas durasi pertunjukannya dari 30 menit menjadi 7 menit.

PENGERTIAN SENI

Istilah seni pada mulanya berasal dari kata Ars (latin) atau Art (Inggris) yang artinya kemahiran. Ada juga yang mengatakan kata seni berasal dari bahasa belanda yang artinya genius atau jenius. Sementara kata seni dalam bahasa Indonesia berasal dari kata sangsekerta yang berarti pemujaan. Dalam bahasa tradisional jawa, seni artinya Rawit(pekerjaan yang rumit – rumit / kecil).

1. Pengertian menurut para ahli budaya


a. Drs. Popo Iskandar berpendapat, seni adalah hasil ungkapan emosi yang ingin disampaikan kepada orang lain dalam kesadaran hidup bermasyarakat / berkelompok




b. Ahdian Karta Miharja, seni adalah kegiatan rohani yang merefleksikan realitas dalam suatu karya yang bentuk dan isinya mempunyai untuk membangkitkan pengalaman tertentu dalam rohaninya penerimanya





c. Ki Hajar Dewantara, seni adalah ….segala perbuatan manusia yang timbul dari perasaan dan sifat indah, hingga menggerakan jiwa perasaan manusia



d. Plato dan Rousseau berpendapat, seni adalah hasil peniruan dari alam dengan segala seginya











PENGERTIAN SENI RUPA MURNI

Seni Rupa Murni
Seni rupa murni (pare/fine art) merupakan seni rupa yang tidak memperhatikan unsur praktis. Karya seni rupa murni diciptakan khusus berdasarkan kreativitas dan ekspresi pribadi
pembuatnya.

Dalam seni rupa murni, terdapat beberapa aliran gaya. Aliran gaya, yaitu aliran dalam gerakan seni rupa yang memiliki ideologi dan ciri khas yang unik dan baru dalam karya-karya yang dihasilkannya. Aliran seni rupa, di antaranya romantisme, ekspresionistne, impresionisme,
dan surcalisme. Cabang-cabang seni rupa murni, di antaranya sebagai berikut.

- Seni Lukis
Seni lukis merupakan cabang seni rupa murni yang karyanya berwujud dua dimensi. Karya seni lukis, umumnya dibuat di atas kain kanvas dengan menggunakan cat minyak atau cat akrilik. Karya seni lukis bergaya naturalis (potert) dibuat sesuai dengan objek aslinya, misalnya pemandangan alam, manusia, atau binatang. Karya lukis bergaya ekspresionis (penuh perasaan) dibuat sesuai dengan ekspresi emosi pelukisnya, seperti dalam pemilihan objek, figur, warna, dan garis. Karya lukis abstrak, berbentuk tidak nyata atau tersamar sesuai dengan khayalan pelukisnya sehingga kurang dimengerti oleh orang awam. Namun, karya lukis abstrak mengandung berbagai alternatif baru dalam karya seni rupa.

- Seni Grafis
Seni grafis merupakan cabang seni rupa murni yang karyanya berwujud dua dimensi. Seni grafis dapat dibuat dengan teknik sablon (cetak saring), cukil kayu (cetakan), etsa (pengasaman pada bahan metal), dan lito (pencetakan dengan batu litho).

- Seni Patung
Seni patung merupakan cabang seni rupa murni yang karyanya berbentuk tiga dimensi. Bahan yang digunakan untuk membuat patung, di antaranya kayu, batu, atau logam. Karya patung yang besar biasa disebut seni monumental.

- Seni Keramik
Seni keramik dapat juga dikategorikan sebagai cabang seni rupa murni yang karyanya berwujud tiga dimensi. Keramik dibuat dengan menggunakan bahan utama tempung, kaolin, atau tanah.

TARI BANYUMASAN MODERN

Kelompok Tari Pring Serentet
Tari Gaya Banyumasan adalah salah satu gaya tari di Jawa Tengah yang masih tetap berkembang hingga saat ini. Tari gaya Banyumasan telah memiliki tempat di kalangan seniman dan para penikmat seni di wilayah Surakarta terutama di lingkungan ISI Surakarta. Tari Banyumasan sendiri sampai saat ini belum dikemas menjadi suatu paket tari yang dapat diajarkan kepada masyarakat luas baik seniman maupun masyarakat umum yang ingin mempelajari tari gaya Banyumasan Agar masyarakat dapat mempelajari tari gaya Banyumasan dengan mudah dan masyarakat luas dapat mempelajari ragam tari  banyumasan sehingga garapan tari paket ini dibuat dengan kemasan yang baru dan dengan perkembangan vokabuler gerak tari tanpa meninggalkan identitas gerak banyumasan itu sendiri.

Beberapa tarian Banyumasan :
1.      Lenggeran Gunung Sari 
Gunung sari adalah nama tempat, dimana penari lengger yang terkenal pada jaman itu, lahir dan dimakamkan. Tepatnya di wilayah kecamatan Wangon, di kelurahan Bantar, kabupaten Banyumas. Penari itu meninggal di daerah sokaraja, karena terbawa arus kali. Sampai di desa Kebagoran. Meninggalnya penari itu membuat tokoh lengger dari pesawahan (Rawalo), merasa kehilangan lalu untuk mengenangnya, dijadikanya geguritan gunungsari, dinamai Kalibagoran. Nama yang disesuai dengan meninggalnya penari lengger waktu itu di kali di desa Kebagoran. Sedangkan makamnya di desa bantar, disalah satu bukit. Bukit itu dinamai Gunungsari. Dengan meninggalnya penari itu ada salah satu kerabatnya yang bernama pak Samin hendak meneruskan. Dia lahir di desa Bantar, dia mengikuti jejak saudaranya sebagai penari lengger. Walaupun dia seorang pria tetapi setelah dia sudah berganti busana lengger tidak ada yang tau kalau dia adalah seorang pria. Karena bentuk tubuh, suara dan wajah sudah berganti seperti wanita, pak Saminpun laris manggung bahkan terkenal sampai di kabupaten Banjar, Kebumen, Purbalingga, Cilacap dan Brebes. Pak Samin adalah penari pria pertama yang memerankan diri menjadi lengger. Dia meninggal di desa Bonjok. Oleh karena itu di desa Bonjok sampai sekarang tidak diperbolehkan ada penari lengger wanita manggung disitu, kecuali lengger lanang/banci. Seiring berkembangnya jaman nama pak Samin penari lengger lanangpun hilang begitu aja, akan tetapi Mbah Tamiarji adalah salah satu tokoh/sesepuh lengger di desa Pemancangan, mengembangkan dan meneruskan jejak pak min dan saudaranya itu, dia merasa hal itu adalah hal yang sakral, maka pada setiap satu tahun sekali diadakan pementasan lengger lanang, untuk acara selamatan tanam padi. dengan iringan ketawang puspowarno minggah lancaran gunung sari diteruskan gunungsari geguritan atau yang dikenal sekarang gunung sari kali bagoran.
2. Baladewan 
      Baladewan diambil dari salah satu babak tari Tari dari daerah Banyumas yang menceritakan tentang semangat prajurit yang gagah, berani maju dalam medan perang. Tari ini dapat ditarikan baik oleh Perempuan maupun Laki-laki 
3. Senggot.
     Senggot merupakan sebuah lancaran dari Brebes yang ditirukan dalam lancaran Banyumasan dengan media alat musik bambu ( Calung ). Kata Senggot juga terdapat  pada bahasa lokal Banyumas yang berarti gayung / siwur yang terbuat dari bathok (tempurung) kelapa yang berpangkal panjang, Kata ini terdapat dalam parikan Bahasa Banyumas yang berarti senggot, atau ngegot (sebuah gerak pinggul). Tari secara visualisasi menggambarkan para waniya yang lincah dan perkasa, vokabuler gerak merupakan pengembangan dari vokabuler gerak tradisi Banyumasan dan Pasundan.   

4.  Kembang Lengger
     Sebuah tarian yang diilhami dari sebuah Novel karya Ahmad Tohari yang berjudul “Ronggeng Dukuh Paruk”. Tari ini menggambarkan penari lengger yang menjadi primadona desa yang banyak digandrungi laki-laki. Tari ini didominasi dengan gerak yang “Erotis”. 

Tradisi Syawalan Rawa Jombor, Warga Berebut Gunungan Ketupat

puncak syawalan Klaten
KLATEN, Independent News Online ; Perayaan syawalan di Rowo Jombor Desa Krakitan Kecamatan Bayat Klaten, ditandai dengan kirab gunungan ketupat. Puluhan gunungan ketupat diarak dari alun-alun Klaten menuju bukit Sidhoguro untuk diperebutkan warga. Dalam dibanding tahun lalu, jumlah gunungannya ditargetkan meningkat. Sebab tidak hanya setiap kecamatan yang menyumbang, namun dari berbagai unsur/lembaga baik pemerintah maupun swasta.

Bisa dipastikan, seperti puncak acara Syawalan tahun sebelumnya (2011), dari pagi ribuan warga Desa Krakitan dan sekitarnya sudah tampak memadati Bukit Sidhogura guna ‘ngalap berkah’ dengan berebutan ketupat. Warga sudah memadati sekeliling lapangan mesti acara belum dimulai. Kondisi ini membuat panitia setempat harus berbuat ekstra untuk mengantisipasi warga yang seakan sudah tidak sabar untuk segera berebut ketupat.

Sementara banyak warga yang memang berniat mendapatkan ketupat agar bisa memperoleh berkah, ada beberapa oknum yang melakukan tindakan tidak terpuji. Usai mereka mendapatkan ketupat, langsung dilemparkan dan banyak yang terinjak-injak sehingga menjadikan ketupat yang notabene isinya dari beras tersebut menjadi ‘mubazir’ atau sia-sia.

Ketua panitia kegiatan Drs. Siswanto, MM di sela-sela kegiatan kepada wartawan mengatakan, kegiatan ini sudah dilaksanakan secara turun temurun sejak puluhan tahun lalu. Bahkan jauh sebelum Rawo Jombor ada. Kalau tahun-tahun sebelumnya dilaksanakan tiap seminggu setelah lebaran, kali ini hari keenam. Namun mengenai majunya waktu pelaksanaan ini tidak terlalu dipermasalahkan.

"Tahun lalu ada 30-an gunungan ketupat. Kali ini mestinya lebih meningkat, karena tiapkecamatan yang biasa mengirimkan satu buah gunungan, dan dari unsur lain seperti perusahaan daerah, swasta dan yang lainnya," kata Kepala Dinas Kebudayaan, Pariwisata Pemuda dan Olah Raga (Disbudparpora) Klaten, Drs. Sugeng Haryanto.

Sementara itu Kepala Desa Krakitan Drs. Sunudi mengungkapkan, awal mula diselenggarakan acara ini ketika disana tinggal seorang pemuka agama bernama Sayid Habib yang masih memiliki darah dari Kasunanan Surakarta. Ketika menyenggarakan syawalan, dia sengaja menyediakan ketupat yang dia bagikan pada masyarakat sekitar sebagai bentuk sedekah. Dipilihnya ketupat karena berasal dari kata 'Ngaku Lepat' (mengaku bersalah).

"Setelah itu, tiap bulan syawal masyarakat di sini selalu mengadakan kegiatan ini. Selain sebagai wujud syukur, juga bertujuan untuk meneruskan budaya dari leluhur. Masyarakat yakin, bagi siapa saja yang bisa mendapatkan ketupat tersebut akan mendapat berkah. Sehingga tidak sedikit warga yang lalu mengkramatkan ketupat tersebut," ungkapnya.

Makna Tradisi Syawalan


Makna Tradisi Syawalan

Syawalan bagi masyarakat Indonesia nampaknya semakin populer. Tradisi yang sering dilaksanakan setelah Sholat Idul Fitri ini semakin menjamur dan tidak hanya dilaksanakan oleh Umat Islam, namun juga masyarakat pada umumnya dalam bingkai keluarga, ikatan tertentu, kesamaan profesi, ataupun lembaga. Sebenarnya, apa yang mendasarinya? Berikut makna tradisi Syawalan yang sering menjadi landasan mereka dalam melestarikan tradisi ini.

Secara umum, ada beberapa makna yang terkandung dalam tradisi Syawalan yang saat ini sering kita temukan di tengah masyarakat.


Ajang saling memaafkan
Syawalan merupakan momen yang tepat untuk saling memaafkan agar hati kita kembali bersih, fitrah. Dengan saling berjabat tangan dan memaafkan secara tulus ikhlas, khilaf dan salah kita terhadap sesama akan luntur dengan sendirinya. 

Media silaturahim
Syawalan menjadi sebuah media silaturahim yang sangat efektif. Dengan Syawalan, ikatan persaudaraan antar peserta dapat semakin erat terjalin, terlebih jika dikemas dalam acara yang interaktif, ajang perkenalan pun menjadi lebih menarik dan menumbuhkan semangat persaudaraan yang mendalam.

Bertukar Informasi
Melalui acara Syawalan, beragam informasi dapat dibagi dan disalurkan ke penerima dengan efektif. Dalam lingkup keluarga, sering Syawalan dijadikan media penyebaran informasi tentang peluang kerja yang mungkin saja dibutuhkan oleh para anggota keluarga yang sedang mencarinya. Dengan hubungan kekeluargaan, bahkan ikatan kerja dapat saja terbentuk melalui media Syawalan.

Sarana koordinasi 
Syawalan juga sering dijadikan sarana koordinasi. Dalam lingkup keluarga besar, koordinasi ini sering berisi tentang rencana membangun pendopo di rumah bekas orang tua untuk dijadikan tempat bertemu dan berkumpul pada momen-momen tertentu, membagi jadwal merawat orang tua, hingga menentukan tugas anggota keluarga dalam melestarikan warisan orang tua.

Berbagi rizki
Sering Syawalan dijadikan ajang membagi rizki dari anggota keluarga yang sukses kepada anak-anak dari anggota keluarga lain yang secara finansial dibawah anggota tersebut. Hal ini umumnya dilakukan dengan membagi-bagi recehan kepada semua anak kecil yang dibawa dalam acara Syawalan tersebut.

Itulah beberapa makna tradisi Syawalan yang dapat Blogger Gundul simpulkan dari pengalaman serta wawancara selama ini. Sobat dapat saja menambahkan makna tersebut sehingga khasanah pengetahuan kita akan manfaat tradisi yang sangat positif ini dapat bertambah. Semoga bermanfaat. Salam.


Tradisi syawalan atau seminggu setelah hari raya idul fitri di pekalongan sangatlah unik. Salah satu tradisi yang terkenal sampai di luar daerah adalah tradisi lopisan atau krapyakan. Tradisi ini dilakukan setiap tahun di daerah krapyak kecamatan pekalongan utara kota Pekalongan. Warga berbondong-bondong untuk melihat lopis raksasa yang tiap tahun ukurannya bertambah besar. Pada tahun ini, lopis ini mempunyai ukuran diameter 150 cm, berat 185 kg dan tinggi 110 cm. Lopis ini biasanya dipotong oleh bapak walikota dan jajaran muspida lalu dibagikan kepada pengunjung yang datang.
Asal muasal tradisi syawalan ini adalah sebagai berikut, pada tanggal 8 Syawal masyarakat Krapyak berhari raya kembali setelah berpuasa 6 hari, dalam kesempatan ini, mereka membuat acara ‘open house’ menerima para tamu baik dari luar desa dan luar kota. Hal ini diketahui oleh masyarakat diluar krapyak, sehingga merekapun tidak mengadakan kunjungan silaturahmi pada hari-hari antara tanggal 2 hingga 7 dalam bulan Syawal, melainkan berbondong-bondong berkunjung pada tanggal 8 Syawal. Yang demikian ini berkembang luas, bahkan meningkat terus dari masa ke masa sehingga terjadilah tradisi Syawalan seperti sekarang ini.
Pemotongan lopis ini pertama kali dilakukan pada tahun 1965 oleh bapak Rohmat yang merupakan kepala daerah setempat. Lopis merupakan makanan yang terbuat dari ketan yang memiliki daya rekat kuat bila sudah direbus dan dimasak.
Lopis ini melambangkan persatuan dan kesatuan negara indonesia. Lopis ini dibungkus dengan daun pisang, diikat dengan tambang dan direbus selama 4 hari 3 malam. Butir-butir ketan tersebut tidak akan tercerai-berai dan akan tetap menjadi satu kesatuan. Lopis dibungkus dengan daun pisang karena pisang tidak akan mati sebelum berbuah atau dengan kata lain tidak mau mati sebelum berjasa atau meninggalkan sesuatu bagi generasi yang akan datang.
Pembuatan Lopis tersebut menghabiskan dana sebesar 3,5 juta rupiah. Dana tersebut didapatkan dari para donatur dan iuran warga setempat. Lopis ini juga pernah masuk Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai lopis terbesar se-Indonesia.

Lain tradisi syawalan di demak yaitu dengan melarung sesaji kelaut, agar nelayan mendapat keselamatan dan dan mendapatkan hasil yang melimpah. menurut warga setempat.

Minggu, 02 September 2012

CARA MENGOBATI JERAWAT DENGAN OBAT TRADISIONAL


Pernah terfikir oleh anda,bagaimana kalau wajah anda tumbuh jerawat? atau bahkan dipenuhi dengan jerawat.Pasti anda langsung tidak percaya diri  dan mencari berbagai cara untuk menghilangkannya.Jerawat sebenarnya bukan masalah yang sangat besar dalam hidup anda,tapi bagi sebagian orang yang perduli dengan penampilan mereka justru akan menjadi masalah besar dalam hidupnya.Masalah jerawat umumnya banyak dihadapi oleh remaja.Tapi,orang dewasapun yang memiliki kulit berminyak atau yang memiliki kondisi kulit berpori-pori besar bisa terserang jerawat ini dikarenakan kulit yang berpori-pori besar yang berminyak akan menyebabkan kelenjar minyak tidak dapat keluar dengan sempurna.  

Ada sebagian wanita ketika akan mengalami menstruasi atau datang bulan atau bahkan sesudahnya akan tumbuh jerawat .Menangani kulit yang berjerawat tidak harus dengan perawatan atau dengan obat-obatan yang mahal.Saya mempunyai beberapa tips untuk mengatasi jerawat dengan cara yang alami dan tidak mahal tentunya.bahan –bahan yang digunakan merupakan bahan –bahan yng mudah didapatkan.

  • Kunyit Asam
Banyak orang yang mempercayai kalau kunyit asam dapat menghaluskan dan memperbaiki kondisi kesehatan  kulit karena didalam kunyit mengandung curcuminoid yang berperan dalam memperbaiki metabolisme dan jaringan dalam tubuh,termasuk juga kulit.Sediakan kunyit secukupnya,cuci bersih kemudain ditumbuk hingga halus.Nah,hasil tumbukan kunyit tersebut oleskan pada bagian yang berjerawat ,diamkan hingga semalaman dan bersihkan pada pagi harinya.cara ini bisa efektif jika anda melakukannya rutin setiap hari tapi dari pemakaian kunyit akan menimbulkan bekas kuning dimuka anda,dan ini pasti akan membuat anda merasa tidak nyaman bukan? Nah dibawah ini ada obat tradisional alternatife lain untuk mengatasi jerawat

  • Daun Sirih
Daun sirih dapat digunakan sebagai obat trdisional alternative selain kunyit,karena di dalam daun sirih mengandung antiseptik yang dapat mengeringkan jerawat yang sedang meradang.Caranya mudah sekali,daun sirih yang sudah dicuci bersih ditumbuk halus kemudian campurkan dengan air secukupnya dan disaring atau diperas.Ampas daunnya bisa anda gunakan masker di malam hari sedangkan  airperasannya  bisa anda gunakan untuk cuci muka dipagi hari.Atau jika anda merasa repot untuk menumbuknya anda bisa merebus daun sirih tersebut ,air dari rebusan daun sirih bisa anda oleskan pada daerah muka anda yang berjerawat.

Dengan Pemakaian secara rutin dan teratur ,jerawat anda akan berangsur – angsur mongering dan hilang.Gunakan secara teratur agar hasilnya lebih sempurna.Selamat mencoba

sumber : http://i-herbal.blogspot.com

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More