Loading

Jumat, 30 November 2012

Tradisi Kirab Pusaka 1 Suro di Solo


A. Pendahuluan
Kedatangan tahun baru biasanya ditandai dengan berbagai kemeriahan, seperti pesta kembang api, keramaian tiupan terompet, maupun berbagai arak-arakan di malam pergantian tahun. Lain halnya dengan pergantian tahun baru Jawa yang jatuh tiap malam 1 Suro (1 Muharram) yang tidak disambut dengan kemeriahan, namun dengan berbagai ritual sebagai bentuk introspeksi diri. Saat malam 1 Suro tiba, masyarakat Jawa umumnya melakukan ritual tirakatan, lek-lekan (tidak tidur semalam suntuk), dan tuguran (perenungan diri sambil berdoa). Bahkan sebagian orang memilih menyepi untuk bersemedi di tempat sakaral seperti puncak gunung, tepi laut, pohon besar, atau di makam keramat. Bagi masyarakat Jawa, bulan Suro sebagai awal tahun Jawa juga dianggap sebagai bulan yang sakral atau suci, bulan yang tepat untuk melakukan renungan, tafakur, dan introspeksi untuk mendekatkan dengan Yang Maha Kuasa. Cara yang biasa digunakan masyarakat Jawa untuk berinstrospeksi adalah dengan lelaku, yaitu mengendalikan hawa nafsu.
Sepanjang bulan Suro masyarakat Jawa meyakini untuk terus bersikap eling (ingat) dan waspada. Eling artinya manusia harus tetap ingat siapa dirinya dan dimana kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan. Sedangkan waspada berarti manusia juga harus terjaga dan waspada dari godaan yang menyesatkan. Karenanya dapat dipahami jika kemudian masyarakat Jawa pantang melakukan hajatan pernikahan selama bulan Suro. Pesta pernikahan yang biasanya berlangsung dengan penuh gemerlap dianggap tidak selaras dengan lelaku yang harus dijalani selama bulan Suro. Ritual 1 Suro telah dikenal masyarakat Jawa sejak masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645 Masehi). Saat itu masyarakat Jawa masih mengikuti sistem penanggalan Tahun Saka yang diwarisi dari tradisi Hindu. Sementara itu umat Islam pada masa Sultan Agung menggunakan sistem kalender Hijriah. Sebagai upaya memperluas ajaran Islam di tanah Jawa, kemudian Sultan Agung memadukan antara tradisi Jawa dan Islam dengan menetapkan 1 Muharram sebagai tahun baru Jawa.
Di Kraton Surakarta Hadiningrat kirab malam 1 Suro dipimpin oleh Kebo Bule Kyai Slamet sebagai Cucuking Lampah. Kebo Bule merupakan hewan kesayangan Susuhunan yang dianggap keramat. Di belakang Kebo Bule barisan berikutnya adalah para putra Sentana Dalem (kerabat keraton) yang membawa pusaka, kemudian diikuti masyarakat Solo dan sekitarnya seperti Karanganyar, Boyolali, Sragen dan Wonogiri.
Sementara itu di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat memperingati Malam 1 Suro dengan cara mengarak benda pusaka mengelilingi benteng kraton yang diikuti oleh ribuan warga Yogyakarta dan sekitarnya. Selama melakukan ritual mubeng beteng tidak diperkenankan untuk berbicara seperti halnya orang sedang bertapa. Inilah yang dikenal dengan istilah “tapa mbisu mubeng beteng”.
Selain di Kraton, ritual 1 Suro juga diadakan oleh kelompok-kelompok penganut aliran kepercayaan Kejawen yang masih banyak dijumpai di pedesaan. Mereka menyambut datangnya tahun baru Jawa dengan tirakatan atau selamatan.
Terlepas dari mitos yang beredar dalam masyarakat Jawa berkaitan dengan bulan Suro, namun harus diakui bersama bahwa introspeksi menjelang pergantian tahun memang diperlukan agar lebih mawas diri. Dan bukankah introspeksi tak cukup dilakukan semalam saat pergantian tahun saja? Makin panjang waktu yang digunakan untuk introspeksi, niscaya makin bijak kita menyikapi hidup ini. Inilah esensi lelaku yang diyakini masyakarat Jawa sepanjang bulan Suro.
B. Sejarah
Pada masa Pemerintahan Pakoe Boewono II, jaman Kraton Kartasura di sekitar abad ke 17, diceritakan bahwa di kerajaan terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh Pangeran Mangkubumi yang membuat ’sinuwun’ harus melarikan diri ke Ponorogo. Di Ponorogo beliau ditampung oleh Bupati Ponorogodan berdiam di sana untuk beberapa saat hingga pemberontakan berakhir. Pada masa pelariannya di Ponorogo, Sang Raja Kartasura itu memperoleh petunjuk gaib bahwa pusaka Kyai Slamet harus ‘direkso’ atau dijaga oleh sepasang ‘kebo bule’ atau kerbau albino jika ingin kerajaan aman sentausa dan langgeng. Kuasa Tuhan yang luar biasa pada saat itu, seolah gayung bersambut, Sang Bupati Ponorogo tiba-tiba ingin menunjukkan bhaktinya kepada rajanya dengan mempersembahkan sepasang ‘kebo bule’ kepada sinuwun, tepat disaat beliau membutuhkannya. Kebo bule atau kerbau albino pada masa itu (mungkin juga pada masa sekarang) adalah kerbau yang sangat jarang ditemui dan dimiliki orang kebanyakan dan merupakan hewan piaraan bernilai tinggi. Maka sinuwun Pakue Boewono II menerima dengan baik ‘pisungsung’ (persembahan) sang bupati dan berterimakasih atas persembahan yang sangat sesuai dengan kebutuhannya. Sinuwun membawa sepasang kerbau bule itu kembali ke Kraton Kartasura setelah pemberontakan usai dan hingga kerajaan berpindah tempat ke Desa Sala dan berganti nama menjadi Kraton Surakarta Hadiningrat.
Secara turun temurun kerbau bule terus bertindak sebagai penjaga pusaka Kyai Slamet hingga masyarakat luas menyebut kerbau itu sebagai Kerbau Kyai Slamet. Menurut penuturan KRT Kalinggo Honggopuro, humas Kraton Surakarta, sebetulnya Kyai Slamet bukanlah nama kerbau. Kerbau Kyai Slamet berarti kerbau yang menjaga Kyai Slamet, sedangkan Kyai Slamet itu sendiri adalah sebuah pusaka yang tak kasat mata yang hanya Sang Raja yang tahu dan bagi rakyat kebanyakan pusaka Kyai Slamet adalah tetap misteri sehingga lebih mudah bagi mereka untuk menyebut sang kerbau saja sebagai Kyai Slamet. Hingga kini kerbau Kyai Slamet telah beranak pinak dan tetap dihormati dan disebut sebagai kerbau bule Kyai Slamet. Konon, saat Paku Buwono II mencari lokasi untuk keraton yang baru, tahun 1725, leluhur kebo-kebo bule tersebut dilepas, dan perjalanannya diikuti para abdi dalem keraton, hingga akhirnya berhenti di tempat yang kini menjadi Keraton Kasunanan Surakarta.
Sementara sejarawan dari Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Solo, Sudarmono, menuturkan, selain dekat dengan kehidupan petani, sosok kerbau memang banyak mewarnai sejarah kerajaan di Jawa. Semasa Kerajaan Demak, misalnya, seekor kerbau bernama Kebo Marcuet mengamuk dan tak ada satu prajurit pun yang bisa mengalahkannya. Karena meresahkan, kerajaan menggelar sayembara: barang siapa mampu mengalahkannya akan diangkat menjadi senopati.
Secara mengejutkan, Jaka Tingkir atau Mas Karebet mampu mengalahkan Kebo Marcuet dengan tongkatnya. Mas Karebet kemudian mempersunting putri Raja Demak Sultan Trenggono, dan akhirnya mengambil alih kekuasaan.
”Jaka Tingkir sebenarnya keturunan Kebo Kenongo, Raja Pengging Hindu yang dikalahkan Kerajaan Demak. Pemindahan kekuasaan dari Demak ke Pajang, yang dekat Pengging, adalah upaya Joko Tingkir mengembalikan pengaruh kekuasaan kerajaan ke pedalaman yang sarat tradisi agraris,” katanya.
Dari sejarah itu, lanjut Sudarmono, kerbau selalu dijadikan alat melegitimasi kekuasaan kerajaan. ”Dalam budaya agraris, kerbau simbolisasi kekuatan petani. Sosok kerbau dihadirkan dalam kirab, yang diikuti abdi dalem dan rakyat, sebenarnya ingin menunjukkan legitimasi keraton atas rakyatnya yang sebagian besar petani.”
Kemunculan kebo bule Kyai Slamet dalam kirab, kata Sudarmono, adalah perpaduan antara legenda dan sage (cerita rakyat yang mendewakan binatang). Dalam pendekatan periodisasi sejarah, sosok kebo bule ditengarai hadir semasa Paku Buwono (PB) VI pada abad XVII. PB VI merupakan raja yang dianggap memberontak kekuasaan penjajah Belanda dan sempat dibuang ke Ambon.
”Meski PB VI dibuang ke Ambon, namun semangat pemberontakan dan keberaniannya menghidupi rakyatnya. Dalam peringatan naik takhta, sekaligus pergantian tahun dalam penanggalan Jawa malam 1 Sura, muncul kreativitas menghadirkan sosok kebo bule yang dipercaya sebagai penjelmaan pusaka Kyai Slamet dalam kirab pusaka,” tambah Sudarmono.
Pada sisi lain Gusti Puger menuturkan, Keraton Surakarta tidak pernah menyatakan tlethong (kotoran) kerbau bisa mendatangkan berkah. ”Kalau tlethong dianggap menyuburkan sawah karena dapat dibuat pupuk, itu masih diterima akal. Namun kami memahami ini sebagai cara masyarakat menciptakan media untuk membuat permohonan. Mereka sekadar membutuhkan semangat untuk bangkit.”
Winarno mengungkapkan, saat ini kebo bule keraton berjumlah 12 ekor. Namun kebo bule yang dipercaya sebagai keturunan asli Kyai Slamet sendiri hingga saat ini hanya tersisa enam ekor. Mereka adalah Kiai Bodong, Joko Semengit, Debleng Sepuh, Manis Sepuh, Manis Muda, dan Debleng Muda.
“Yang menjadi pemimpin kirab biasanya adalah Kyai Bodong, karena dia sebagai jantan tertua keturunan murni Kyai Slamet. Disebut keturunan murni, karena mereka dan induk-induknya tidak pernah berhubungan dengan kerbau kampung.”
Kyai Bodong sendiri memiliki adik laki-laki yang diberi nama Kyai Bagong. Namun, kata Winarno, kerbau tersebut sekarang ini berada di kawasan Solo Baru, Sukoharjo, dan dengan alasan yang enggan disebutkan, kebo bule itu tidak bisa dibawa pulang ke Keraton Surakarta.
Sejak dulu, sekawanan kebo keramat tersebut memang memiliki banyak keunikan. Kawanan kerbau ini, misalnya, sering berkelana ke tempat-tempat jauh untuk mencari makan, tanpa diikuti abdi dalem yang bertugas menggembalakannya. Mereka sering sampai ke Cilacap yang jaraknya lebih 100 km dari Solo, atau Madiun di Jawa Timur. Namun anehnya, menjelang Tahun Baru Jawa, yakni 1 Sura atau 1 Hijriah, mereka akan kembali ke keraton karena akan mengikuti ritual kirab pusaka.
Winarno menambahkan, malam 1 Sura sangat berarti bagi orang Jawa, karena tidak saja memiliki dimensi fisik perubahan tahun, namun juga mempunyai dimensi spiritual. Sebagian masyarakat Jawa yakin, bahwa perubahan tahun Jawa menandakan babak baru dalam tata kehidupan kosmis Jawa, terutama kehidupan masyarakat agraris.
Nah, peran kebo bule Kyai Slamet adalah sebagai simbol kekuatan yang secara praktis digunakan sebagai alat pengolah pertanian, sumber mata pencaharian hidup bagi orang-orang Jawa. Di luar itu, kerbau secara umum juga mempunyai nilai tinggi dalam sebuah ritual, tidak saja di keraton Surakarta, tetapi juga di Sulawesi, Kalimantan, sehingga secara material ia menjadi simbol kejayaan dan kesuburan. Sebuah cita-cita yang ingin diwujudkan oleh raja beserta rakyatnya. “Kyai Slamet adalah sebuah visi Raja. Secara harfiah, visi Keraton Surakarta, yaitu ingin mewujudkan keselamatan, kemakmuran, dan rasa aman bagi masyarakatnya.”
C. Kirab Kerbau Kyai Slamet
Malam 1 sura dalam masyarakat Jawa adalah suatu perayaan tahun baru menurut kalender Jawa. Dalam perhitungan jawa, malam 1 sura dimulai dari terbenamnya matahari pada hari terakhir bulan terakhir kelender jawa (29/30 bulan Besar) sampai terbitnya sang matahari pada hari pertama bulan pertama tahun berikutnya.
Dilingkungan keraton Surakarta Hadiningrat upacara ini diperingati dengan kegiatan kirab mengililingi beteng keraton. Dimulai dari kompleks Kemandungan Utara melalui gerbang Brojonolo kemudian mengintari seluruh kawasan keraton dengan arah berlawanan arah putaran jarum jam dan berakhir di halaman Kemandungan Utara. Dalam profesi pusaka keraton menjadi bagian utama pada barisan terdepan baru kemudian diikuti para pembesar keraton, kerabat dan jajaran keraton yang lengkap dengan pakaian keratonnya, dan akhirnya oleh masyarakat. Uniknya pada lapisan barisan terdepan ditempatkan pusaka yang berupa sekawanan kerbau albino yang diberi nama Kyai Slamet yang selalu menjadi pusat perhatian tersendiri bagi masyarakat.
Kirab Pusaka 1 Sura  ini melibatkan sekitar 600 abdi dalem yang mengusung 13 pusaka Kraton Surakarta. Kirab dilakukan dengan membawa penerangan obor dan lampu ting mengelilingi kompleks Keraton melalui Gladag-Jl Jenderal Sudirman-Jl Mayor Kusmanto-Jl Kapten Mulyadi-Jl Veteran-Jl Yos Sudarso-Jl Slamet Riyadi-Gladag dan kembali ke kraton.  Dari Pringgitan  KGPAA Mangkunegaran IX, berjalan menuju teras Pendhapi Ageng untuk melepas empat pusaka. Sebelum diarak mengelilingi Pura Mangkunegaran yang diikuti oleh kerabat kerjaan serta masyarakat, pusaka tersebut dibasuh air terlebih dahulu.  Setelah itu barulah saatnya kirab kerbau kyai slamet. Kirab itu sendiri berlangsung tengah malam, biasanya tepat tengah malam, tergantung kemauan dari kebo Kyai Slamet. Sebab, adakalanya kebo keramat baru keluar dari kandang selepas pukul 01.00. Kirab pusaka ini sepenuhnya memang sangat tergantung pada kebo keramat Kyai Slamet. Jika saatnya tiba, biasanya tanpa harus digiring kawanan kebo bule akan berjalan dari kandangnya menuju halaman keraton. Maka, kirab pun dimulai. Kawanan kerbau keramat akan berada di barisan terdepan, mengawal pusaka keraton Kyai Slamet yang dibawa para abdi dalem keraton. Kerumunan orang pun menyemut dari keraton hingga di sepanjang perjalanan yang dilalui arak-arakan. Selama kirab berlangsung, Sinuhun Pakubuwono akan berdoa dengan bersemedi di dalam keraton.
Bagi masyarakat Solo, dan kota-kota di sekitarnya, seperti Karanganyar, Sragen, Boyolali, Klaten, Sukoharjo, dan Wonogiri, kebo bule Kyai Slamet bukan lagi sebagai hewan yang asing. Setiap malam 1 Sura menurut penanggalan Jawa, atau malam tanggal 1 Muharam menurut kalender Islam (Hijriah), sekawanan kebo keramat ini selalu dikirab, menjadi cucuk lampah sejumlah pusaka keraton.
Ritual kirab malam 1 Sura itu sendiri sangat ditunggu-tunggu masyarakat. Ribuan orang tumpah ruah di sekitar istana, juga di jalan-jalan yang akan dilalui kirab. Masyarakat meyakini akan mendapat berkah dari keraton jika menyaksikan kirab.
Dan inilah yang menarik, orang-orang menyikapi kekeramatan kerbau Kyai Slamet sedemikian rupa, sehingga cenderung tidak masuk akal. Mereka berjalan mengikuti kirab, saling berebut berusaha menyentuh atau menjamah tubuh kebo bule. Tak cukup menyentuh tubuh kebo, orang-orang tersebut terus berjalan di belakang kerbau, menunggu sekawanan kebo bule buang kotoran.
Begitu kotoran jatuh ke jalan, orang-orang pun saling berebut mendapatkannya. Tidak masuk akal memang. Tapi mereka meyakini bahwa kotoran sang kerbau akan memberikan berkah, keselamatan, dan rejeki berlimpah. Mereka menyebut berebut kotoran tersebut sebagai sebagai tradisi ngalap berkah atau mencari berkah Kyai Slamet.
D. Dalam Perspektif Kelimuan
Kebudayaan terbentuk dari perilaku pendahulu-pendahulu (nenek moyang) yang kemudian menjadi suatu kebiasaan dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga menjadi ciri khas tersendiri dari suatu pulau.
Surakarta memiliki suatu kebudayaan yakni kirab malam satu sura, dimana kirab tersebut merupakan arak-arakan pusaka-pusaka keraton Surakarta dan sekelompok kerbau bule yang sering disebut Kerbau Bule Kyai Slamet. Sebagian masyarakat Surakarta banyak yang beranggapan bahwa barang siapa yang bisa mendapatkan kotoran atau feces dari kerbau bule Kyai Slamet pada malam satu Sura, akan diberi keselamatan dan ditambahkan rezeki. Fenomena yang terjadi membuat Permana Adhi Panggayuh Wahyu Hidayat(2008) tertarik untuk melakukan penelitian, dengan judul Ngalap Berkah Kyai Slamet: Kajian Fenomenologi Memohon Keberkahan melalui Feces Kerbau Bule Kyai Slamet pada Ritual Malam Satu Sura. Subjek yang diteliti adalah para pelaku ritual malam satu sura dan mempercayai kepercayaan akan Ngalap Berkah Kyai Slamet pada ritual malam satu Sura, pengampilan subjek dengan metode purposive sampling dan snowball sampling dengan kriteria usia minimal 20 tahun, pernah mengikuti ritual kirab malam satu Sura, percaya akan kepercayaan ngalap berkah Kyai Slamet (Memohon keberkahan pada Kerbau Bule Kyai Slamet), berkebudayaan Jawa.
Penelitian ini menggunakan metode Kualitatif dengan pendekatan Fenomenologi Husserl. Metode pengumpulan pada penelitian ini menggunakan metode Wawancara, Observasi, dan Dokumentasi. Selain dengan pelaku Ngalap berkah, penulis melakukan wawancara dengan beberapa Key Person yaitu pengageng Keraton Surakarta dan Abdi dalem Keraton Surakarta. Berdasarkan data-data yang diperoleh, perilaku Ngalap berkah Kyai Slamet dipengaruhi faktor Internal dan Eksternal. Faktor Internal subjek yakni adanya keyakinan bahwa dengan mendapatkan kotoran kerbau bule Kyai Slamet, akan diberi keselamatan dan bertambahnya rezeki, serta munculnya penilaian terhadap pengalaman yang dialami dari hubungan interaksi lingkungan subjek (keluarga, peer group, masyarakat lain) sehingga menimbulkan sikap yakni melakukan Modelling. Faktor eksternal yakni adanya tokoh-tokoh panutan (Nenek moyang, Orangtua, peer group dan masyarakat) sehingga menjadi Norma subjektif yang disebut Adat Istiadat. Kedua faktor tersebut didukung lagi dengan adanya intensi berperilaku subjek melakukan ritual malam satu sura.
Fenomenologi perilaku ngalap berkah Kyai Slamet, merupakan proses atribusi yang berasal dari persepsi dan dipengaruhi oleh locus of cusality Internal dan Eksternal, dimana persepsi yang muncul antara lain:1) Raja adalah orang yang Luar Biasa. 2) Raja merupakan orang yang paling dekat dengan Dewa (Tuhan). 3) Keinginan Manunggaling Kawula Lan Gusti (Menjadi satu dengan Tuhan / dekat dengan Tuhan). 4) Semakin dekat dengan Raja maka dekat pula dengan Tuhan. 5) Kerbau bule yang disimbolkan dengan Raja, maka sesuatu yang keluar dan sisa dari kerbau bule Kyai slamet juga dianggap sesuatu yang dianggap sama dengan apa yang dikeluarkan oleh seorang raja. Locus of Causality Internal, adanya emosional yang berlebihan untuk bertemu dengan Raja, dengan harapan menjadi lebih dekat dengan Tuhan sehingga segala Harapan akan terkabul dan Locus of Causality eksternalnya karena adanya birokrasi yang membatasi (susah dan rumit) untuk bertemu dengan seorang Raja. Sehingga perilaku atribusi yang terjadi adalah 1) Bertemu dengan binatang kesayangan 2) Berusaha mendapatkan Bagian dari Kerbau Bule Kyai Slamet 3) Feces digunakan sebagai azimat keberuntungan

Tradisi Saparan di Boyolali dan Klaten


Ribuan orang berkumpul untuk mengikuti upacara Saparan, yang antara lain diwarnai dengan menyebar 10.000 kue apem dan kirab budaya, di objek wisata Umbul Pengging, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali, Jateng, Gunungan apem diarak dan kemudian disebar ke warga dalam tradisi sebar apem kukus keong emas di Kompleks Wisata Umbul Pengging ini.
Tradisi ini dilakukan berkaitan dengan peran penting R Ng Yosodipuro sebagai penyebar agama Islam di sekitar Pengging, Masyarakat dari berbagai daerah di Boyolali tersebut mulai berdatangan dan memadati lokasi Wisata Pengging pada siang hari.Prosesi upacara itu diawali dengan kirab budaya yang diikuti ratusan orang dari berbagai kelompok kesenian setempat dan prajurit Keraton Surakarta bersenjata lengkap. Mereka mengarak dua gunungan kue apem setinggi sekitar 1,5 meter yang berangkat dari Balaidesa Ngaru-aru hingga ke Masjib Cipto Mulyo Pengging. Upacara tradisi sebar apem kukus yang berlangsung di objek wisata Umbul Pengging tersebut merupakan upaya melestarikan tradisi.”Sekitar 10.000 kue apem dari masyarakat setempat disebar di tiga panggung. Hal itu dilakukan untuk memecah kumpulan orang agar tidak berjubel di satu tempat saja karena jumlah pengunjung meningkat dibanding tahun sebelumnya.
Sebelum kedatangan Islam di Jawa, agama Hindu, Budha dan kepercayaan asli yang berdasarkan animisme dan dinamisme telah berakar di kalangan masyarakat. Oleh karena itu, dengan datangnya Islam, terjadi pergumulan antara Islam di satu pihak, dengan kepercayaan-kepercayaan yang ada sebelumnya di pihak lain. Akibatnya, muncul dua kelompok dalam menerima Islam. Pertama menerima Islam secara total dan meninggalkan kepercayaan-kepercayaan lama. Dalam masalah ini, Drewes telah meneliti ulang tiga buah manuskrip lama yang berasal pada abad ke-15 atau ke-16.Ketiga manuskrip tersebut menunjukkan tentang Islam ortodoks yang dapat diterima oleh semua pihak di kalangan umat Islam. Yang kedua adalah mereka yang menerima Islam, tetapi belum dapat melupakan ajaran-ajaran lama (M Durori Amin, 2000). Oleh karena itu, mereka mencampuradukkan antara kebudayaan dan ajaran-ajaran Islam dengan kepercayaan-kepercayaan lama. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa, dapat dijumpai tulisan-tulisan, tradisi dan kepercayaan yang tercampur di dalamnya antara aspek-aspek dari ajaran Islam dengan unsur-unsur kepercayaan lama. Sebagaimana telah disebutkan di atas, Islam yang berkembang diIndonesia mula-mula adalah Islam sufi (mistik), yang salah satu ciri khasnya adalah bersifat toleran dan akomodatif terhadap kebudayaan dan kepercayaan setempat, yang dibiarkan eksis sebagaimana semula, hanya kemudian diwarnai dan diisi dengan ajaran-ajaran Islam.Dengan demikian, islamisasi di Jawa lebih bersifat kontinuitas apa yang sudah ada dan bukan perubahan dalam kepercayaan dan praktik keagamaan lokal (Azzumardi Azra, 1994:35).

Pada upacara tradisi Yaqowiyu yang dilaksanakan di Jatinom, Klaten, unsur unsur animisme dan dinamisme tampak pada benda-benda sajen maupun benda-benda yang mempunyai kekuatan magic seperti kue apem.
Upacara ritual Saparan/Yaqowiyu di Klaten merupakan tradisi yang tidak dihilangkan oleh ulama/mubalig, tetapi dibiarkan berlanjut dengan diwarnai dan diisi dengan unsur-unsur dari agama Islam. Dari beberapa pendapat di atas, sikap dan perilaku keagamaan sebagian masyarakat Jawa sangat sinkretis, tampak pada prosesi ritual Saparan atau Yaqowiyu. Pada upacara tradisi Yaqowiyu yang dilaksanakan di Jatinom, Klaten, unsur unsur animisme dan dinamisme tampak pada benda-benda sajen maupun benda-benda yang mempunyai kekuatan magic seperti kue apem. Sejarah ritual ini berawal dari pembagian kue apem oleh Ki Ageng Gribig pada 15 Safar 1511 H. Pada waktu itu, Ki Ageng Gribig baru saja pulang dari Mekah setelah menunaikan rukun Islam yang kelima dan membawa oleh-oleh kue apem dan segumpal tanah liat dari Arafah. Dia juga membawa oleh-oleh berupa tiga buah roti gimbal yang masih hangat, untuk dibagi-bagikan kepada tetangga dan sanak saudara yang ada. Mereka berkumpul untuk mendengar cerita dan wejangan ilmu dari dia. Sebelum mereka pulang, beliau membagi oleh-oleh tadi secara merata. Tetapi oleh-oleh tadi ternyata tidak mencukupi untuk semua yang hadir. Oleh karena itu disuruhlah isterinya untuk memasak kue tadi menjadi lebih banyak agar semua yang hadir mendapat oleh-oleh. Penyebaran apem dilakukan Ki Ageng Gribig seusai Salat Jumat. Sebelum oleh-oleh dibagikan kepada para tetangga,dia memanjatkan doa lebih dahulu agar mendapat berkah.
Baru setelah itu apem tersebut disebarkan kepada para kerabat dan tetangga yang jumlahnya banyak.Sikap toleran dan akomodatif terhadap kepercayaan dan budaya setempat, di satu sisi memang dianggap membawa dampak negatif, yaitu sinkretisasi dan pencampuradukan antara Islam di satu sisi dengan kepercayaan-kepercayaan lama di lain pihak, sehingga sulit dibedakan mana yang benar-benar ajaran Islam dan mana pula yang berasal dari tradisi. Namun aspek positifnya, ajaran-ajaran yang disinkretiskan tersebut telah menjadi jembatan yang memudahkan masyarakat Jawa dalam menerima Islam sebagai agama mereka yang baru. Sebaliknya ajaran-ajaran tersebut memudahkan kalangan pesantren untuk mengenal dan memahami pemikiran dan budaya Jawa, sehingga memudahkan mereka dalam mengajarkan dan menyiarkan Islam kepada masyarakat Jawa.
Demikianlah, pergumulan antara Islam di satu pihak dengan tradisi dan budaya Jawa pra-Islam di pihak lain. Menolak semua tradisi dan budaya Jawa pra-Islam bagi masyarakat muslim adalah suatu kemustahilan. Sebagai anggota masyarakat Jawa, mereka terkait dengan norma dan tradisi yang berlaku. Namun, menerima semua tradisi Jawa dengan tanpa seleksi adalah langkah yang bertentangan dengan prinsip-prinsip keagamaan yang mengharuskan adanya seorang rasul yang ditugaskan untuk mengajarkan risalah dan meluruskan tradisi agar tidak terjerumus dalam bidah , Hal ini terjadi karena ada adat atau tradisi yang bertentangan dengan ajaran Islam, Selagi hal ini tidak bertentangan dengan ajaran Islam, para ulama tidak mempermasalahkan untuk mengadopsinya.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More