Loading

Rabu, 01 Agustus 2012

BALIMAU BUKAN AJARAN ISLAM DAN BUDAYA MINANG


TRADISI JELANG RAMADAN
Balimau yang telah menjadi tradisi menyambut Ramadan dinilai bukan budaya Minang dan tak dianjurkan di tempat terbuka oleh agama Islam. Balimau juga disebut dengan “mandi berjamaah”. Balimau saat kini lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya, serta penuh dosa.
Bagi umat Islam seantero dunia, bulan Ramadan adalah bulan yang sangat ditunggu-tunggu. Menjelang pelak sanaan ibadah puasa di bulan Ramadan setiap tahunnya, ada banyak tradisi masya rakat Minangkabau yang sampai saat ini masih hidup, antara lain ziarah kubur, malamang, dan yang sangat massif adalah balimau.
Tra disi ini biasanya dilaksanakan menjelang puasa. Orang Mi nang memang memiliki sekian banyak tradisi yang khas dalam implementasi Islam.
Tradisi ini sungguh-sung guh merupakan tradisi indi genius atau khas, yang tidak dimiliki oleh masyarakat Islam di tempat lain, jika pun ada itu berupa kemiripan. Tradisi ini ditandai dengan upacara selamatan ala kadar nya untuk menandai akan masuknya bulan puasa Ra madan yang diyakini sebagai bulan yang suci dan khusus.
Sama dengan tradisi-tra disi lain di dalam Islam, maka tradisi ini juga tidak diketahui secara pasti siapa yang menciptakan dan menga wali pelaksanaannya. Tetapi tentu ada dugaan kuat bahwa tradisi ini diciptakan oleh nenek moyang orang Minang yang dulunya beragama Hin du. Memang hal ini baru sebatas dugaan, namun me ngingat bahwa kreasi-kreasi tentang Islam Minang te rutama yang menyangkut tradisi-tradisi baru akulturatif yang bervariatif tersebut kebanyakan datang dari pe nga ruh budaya Hindu-Budha, maka kiranya dugaan ini pun bisa dipertanggungjawabkan.
Salah satu kebiasaan yang kerap menyulut kontroversi adalah balimau karena identik dengan kebiasaan yang tak diajarkan Islam.
Dulu, balimau merupakan sebuah kegiatan yang dila kukan di tepian mandi atau di pancuran. Warga, tentunya yang beragama Islam, mem bersihkan diri, dengan meng­gunakan sabun dan we wa nginan dari bunga-bungaan. Bunga-bungaan itu diramu dari berbagai kembang, ke mudian dibubuhi minyak harum (parfum) yang tidak mengandung alkohol.
Tujuannya, agar bisa me masuki bulan suci Ramadan dengan tubuh yang suci pula. Sebuah kebiasaan yang tidak ada salahnya, karena ajaran Islam mengajarkan agar pe nga nutnya selalu bersih dan harum. Walau demikian, balimau bukanlah budaya Islam atau budaya Minang.
Akhir-akhir ini ada per geseran cara balimau. Khusus bagi kawula muda, balimau dilakukan di tempat pe man dian. Mereka datang ber sama-sama, lelaki dan perem puan yang bukan muhrim. Lalu, di tepian mandi umum tersebut mereka mandi ber sama. Ada yang menyebut dengan nada sinis, balimau seperti itu hanya untuk mandi berjamaah antara lelaki dan perempuan yang bukan muhrim.
Kebiasaan “balimau”, da lam bentuk “mandi ber ja maah” bukanlah budaya Mi nang, maupun budaya Islam.
Penilaian itu dikatakan Ketua Majelis Ulama Islam (MUI) Kabupaten Agam, Dr Zulkifli Dja’far, MA Khatib Rumah Panjang, ketika dihu bungi Haluan pekan lalu.
Balimau menjelang me masuki bulan suci Ramadan dalam Islam adalah aktivitas membersihkan jiwa. Mak sudnya, balimau merupakan kegiatan bermaaf-maafan, dengan mendatangi orang tua dan karib kerabat. Bermaaf-maafan merupakan sebuah aktivitas membersihkan jiwa seorang muslim. Balimau juga dilakukan dengan mem ber sihkan diri untuk memasuki Bulan Suci Ramadan. Mem bersihkan diri dengan cara mandi di tepian atau kamar mandi masing-masing. Usai mandi biasanya kaum mus limin dan muslimah memakai harum-harum, seperti harum-haruman dari bunga.
“Namun balimau ke tem pat pemandian umum, atau ke water boom, tidak dian jurkan dalam ajaran adat maupun agama Islam,” ujar Zulkifli Dja’far. Balimau menjelang me masuki Rama dan ke tempat pemandian umum secara bersama-sama antara lelaki dan perempuan yang bukan muhrim, menurut Buya Zul kifli, bisa mengun dang maksiat.
Oleh karena itu, sebaiknya dijauhi. Kepada para orang tua dan pimpinan kaum, diharapkan mencegah anak-kemenakan mereka pergi balimau dengan lelaki atau perempuan bukan muhrimnya. Daripada pergi balimau de ngan cara “mandi berjamaah” itu, lebih tidak dilakukan. Bersihkan saja jiwa dan raga dengan cara Islam. “Jangan melakukan perbuatan dosa, berdalih untuk pergi balimau.”
Mengundang kaum ke rabat untuk menghadiri ha jatan (berdoa), untuk tujuan bermaaf-maafan, menurut Buya Zulkifli, merupakan kegiatan yang bagus. Apalagi dilakukan menjelang me masuki bulan suci Ramadan. Berkumpul-kumpul dengan tujuan yang baik merupakan kegiatan yang bermanfaat. Antara lain untuk mening katkan silaturahim antar sesama.

Budaya Sesat
Sementara itu, Ketua Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Kabupatn Agam, Drs Mardius Asmaan Dt. Saripado dengan tegas mengatakan balimau dalam bentuk “mandi ber jamaah” merupakan budaya sesat. Dalam adat Minang kabau tidak ada anjuran untuk itu. Malah ia menyebut perbuatan seperti itu bukan menyucikan diri, tetapi malah menambah kotornya jiwa dan diri seseorang. Bagaimanapun, perbuatan tersebut diyakini akan memicu perbuatan dosa.
“Tidak ada perbuatan kotor akan menyucikan diri. Per buatan seperti itu sebaiknya dijauhi. Bila memang hendak menyucikan diri, balimau saja di kamar mandi masing-masing. Itu lebih terpelihara dari perbuatan dosa,” ujar mantan pejabat teras Pemkab Agam tersebut.
Adat Minangkabau ber landaskan ajaran Islam. Da lam mamangan adat dise butkan “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.” Kitabullah itu adalah Alquran. Dari sanalah dasar adat Minangkabau, makanya tidak mungkin adat Minangkabau berlawanan dengan ajaran Islam. Dalam Islam, berduaan saja antara lelaki dengan perempuan yang bukan mu hrim termasuk dosa, atau setidaknya bisa menyebabkan timbulnya perbuatan dosa.
Bila berduaan saja sudah dilarang, apalagi mandi ber sama antara lelaki dan perem puan yang bukan muhrim. Justru itu ia menghimbau pimpinan kaum untuk men cegah anak-kemenakannya pergi balimau ke tempat pemandian umum bersama lelaki atau perempuan yang bukan muhrimnya.
Pernyataan keras senada disampaikan bendaharawan LKAAM Agam, yang juga Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Agam, H. Junaidi, SH, Dt. Gampo Alam Nan Hitam. Menurutnya, warga Agam jangan sampai terjebak dengan perilaku dan budaya yang tidak baik. Budaya balimau bersama antara lelaki dan perempuan yang bukan muhrimnya, ke tempat pemandian umum, adalah budaya yang tidak benar. Makanya patut untuk dicegah. Alangkah memalukan bila anak Minangkabau mela kukan perbuatan balimau bersama lelaki danperempuan yang bukan muhrimnya. Apa lagi dilakukan di tempat pemandian umum.
“Balimau cukup di kamar mandi di rumah masing-masing. Untuk apa pergi jauh-jauh ke tempat pemandian umum,bila yang didapat adalah dosa,” ujarnya.
Pernyataan serupa men cuat dari salah seorang tokoh masyarakat Kecamatan Tan jung Mutiara, Nazirman. Menurut pensiunan Pegawai Pemkab Agam itu, balimau dengan cara yang salah, hanya akan menimbulkan dosa. Sebaiknya tidak dilakukan, apalagi bila hendak me ma suki Bulan Suci Ramadan.
Pernyataan keras juga mengapung dari ketua LSM Komite Masyarakat Agam (KOMA), Anizur. Menurutnya, janganlah memasuki  bulan Suci Ramadan dengan diri dan jiwa yang kotor. Sejatinya, masukilah bulan Suci Rama dan dengan jiwa dan diri yang bersih pula. Balimau dengan pola “mandi berjamaah” an tara lelaki dan perempuan yang bukan muhrim, adalah perbuatan dosa.
“Orang Agam tidak layak melakukan acara balimau dengan mandi berjamaah se perti itu,” ujarnya, dengan nada keras. Bupati Agam H. Indra Catri Dt. Malako Nan Putiah juga mengimbau se genap la pisan masyarakat Agam untuk melakukan per buatan yang bermanfaat, termasuk dalam hal balimau menjelang Ra madan. Me nurutnya, ba­limau bersama ke tempat pemandian umum antara lelaki dan perem puan yang bukan muhrim, bukanlah budaya Minang. Per buatan seperti itu biasanya dilakukan kawula muda, yang lebih banyak nilai hura-huranya daripa manfaatnya.
Sebagai orang Agam, yang menjunjung tinggi adat dan agama, janganlah sampai melalukan perbuatan yang tidak baik menurut ukuran adat dan agama. Karena balimau dengan cara “mandi berjamaah” antara lelaki dan perempuan yang bukan mu hrim, adalah perbuatan ter cela. Perbuatan seperti itu hanya akan mengundang dosa.
“Kalau mau memasuki bulan suci Ramadan, se baiknya umat menyucikan diri, bukan mengotorinya dengan balimau seperti itu,” ujarnya mengingatkan.

sumber : http://www.harianhaluan.com

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More